Aksara merupakan warisan peradaban dunia yang
paling pokok dan sangat terkait dengan ilmu pengetahuan. Aksara yang dituliskan
dengan pena – menurut surat al-‘Alaq ayat 4 disebut ‘kalam’ - adalah sebuah bentuk tatacara yang digunakan
oleh manusia untuk mendapatkan dan memberikan ilmu, informasi, dan pengetahuan
yang berhubungan dengan diri, keluarga, negara, dan agamanya. Hingga dapat
dikatakan, tidak ada satu ilmu, pengetahuan, dan informasi tanpa melalui
aksara.
Secara tersurat ayat 4
surat al-‘Alaq memberikan pemahaman kepada kita tentang: 1) Allah swt; 2)
pengajaran; dan 3) kalam.[1] Secara tegas ayat ini memberikan
gambaran kepada kita bahwa Allah swt memberikan pengajaran berbagai ilmu dan
pengetahuan kepada manusia dengan melalui bacatulis. Secara tersirat, kalam
atau bacatulis, yang dimaksudkan dalam ayat ini tentunya dengan menggunakan
aksara yang dipakai oleh masing-masing bangsa pada zaman dan daerahnya. Karena
hingga hari ini, kita belum menemukan selain aksara yang digunakan oleh antar
manusia untuk memberikan dan mendapatkan pengetahuan.
Adapun simbol-simbol
dan rumuz-rumuz yang digunakan oleh kita (manusia) masih terhitung aksara yang
menginduk pada alfabet atau bajad yang tergolong aksara. Jadi, aksara merupakan
bagian dari ilmu pengetahuan yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia untuk
pengembangan dirinya.
Secara etimologi,
aksara dapat dimakanai sebagai konsonan, huruf, alfabet, abjad, angka,
wilangan, dan nomor. Secara fungsional, aksara dapat dimaknai sebagai:
1. Jenis sistem
tanda grafis tertentu, misalnya aksara Mesir, aksara Arab, aksara Ibrani,
aksara Arameca, aksara Brahmi, aksara Dewanagari, aksara Jawa, aksara Sunda,
aksara Cina, aksara Jepang, dan lain sebagainya.
2. Lambang
bunyi, yaitu sistem tanda-tanda grafis yang dipakai manusia untuk berkomunikasi
dan sedikit banyaknya mewakili ujaran.
3. Suatu grafem
yang menandai bunyi yang terdapat dalam suatu kata, seperti; a) grafem yang
hanya menandai bunyi konsonan (b, c, d, r, y, z dan sebagainya) dan tidak
menandai bunyi vokal (a, i, u, e, dan o); b) grafem yang menandai konsonan
dengan tanda ekstra di atas, di bawah, atau di sekitar gfrafem konsonan, untuk
menandai vokal yang diucapkan bersama konsonan tersebut; dan c) grafem yang
menandai konsonan dan vokal masing-masing grafem sendiri.
Beberapa pengertian
diatas memberikan kesimpulan bahwa aksara Latin yang kita gunakan saat ini
adalah suatu sistem aksara yang menganut model 3 c.[2]
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, nama dan jenis aksara dapat dikatakan sebagai berikut:
1. Aksara Aramea
adalah aksara yang dipakai oleh bangsa Aramea di daerah sekitar Siria sekarang
dan Mesopotamia sejak sekitar abad ke-10 SM;
2. Aksara Arab
adalah aksara yang dipakai oleh bangsa Arab untuk menuliskan bahasa Arab,
diturunkan dari aksara Aramea, ditulis dari kanan ke kiri;
3. Aksara Brahmi
adalah aksara yang dipakai untuk menuliskan bahasa India Kuno, ditutunkan dari
aksara Arammea (Semit) dan bersifat setengah alfabet, awalnya aksara ini
dituliskan dari kanan ke kiri, kemudian – karena berbagai faktor – dituliskan dari kiri ke
kanan, seperti aksara Latin atau aksara Jawa dan kebanyakan aksara dunia dan
daerah yang lain;
4. Aksara
Dewanagari adalah aksara India yang yang dipakai untuk menuliskan bahasa
Sanskerta yang tumbuh pada pada abad ke-7 sampai abad ke-9 M dan masih digunakan
hingga saat ini, dan menurunkan aksara di Nepal dan Bangladesh;
5. Dan
seterusnya.
Pengajaran atau
komunikasi yang dilakukan manusia pada awalnya hanya menggunkan ujaran. Hal ini
tersurat dalam al-Quran: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!".[3]
Dari Ayat tersebut di
atas dapat di peroleh pengertian:
1. Allah swt
adalah pengajar langsung Adam as;
2. Nabi Adam as
adalah manusia yang mengetahui seluruh nama benda-benda;
3. Benda-benda
itu dapat dikenali dan dibedakan dengan yang lainnya dengan melalui nama-nama
yang melekat padanya;
4. Adanya para
malaikat dan mereka tidak sepandai Nabi Adam as;
5. Orang yang
benar adalah orang yang mengetahui nama-nama benda sesuai dengan namanya.
Kejadian tersebut,
pengajaran nama-nama seluruh benda kepada Adam as, saat Nabi Adam as masih
berada di surga. Setelah Nabi Adam as tiba di bumi dan menurunkan para nabi,
baru dimulailah penurunan kitab-kitab, yang pada masa sebelum Taurat di sebut suhuf,[4] yang tentunya berisi ilmu dan pengetahuan, yang hingga kini belum
diketahui oleh ilmu sejarah, baik aksara maupun bahasanya. Para Ahli Sejarah
baru bisa mengenali dan meneliti aksara dan bahasa yang termaktub dalam kitab
Taurat seperti Dr. Kamal Salibi. Dr. Kamal Salibi telah berhasil meneliti Kitab
Bibel Kanonik yang kemudian laporanya diterbitkan pertama kali di Jerman, yang
dalam bahasa Indonesianya diberi judul Asal-usul Kitab Suci.
Kitab-kitab yang
diturunkan sebelum Taurat Musa as terdiri dari 60 shuhuf diturunkan
kepada Nabi Syis as, 30 shuhuf diturunkan kepada Nabi Ibrahim as, 10 shuuf
kepada rasul-rasul yang lain. Kemudian baru Taurat kepada Nabi Musa as,
Zabur kepada Nabi Daud as, Injil Nabi Isa as, dan Al-Quran kepada Nabi Kita
Muhammad saw.[5] Semua kitab-kitab dan suhuf itu
tentunya menggunakan aksara dan bahasa yang masih belum terungkap oleh kegiatan
penelitian para filolog dan sejarawan, selain Taurat, Zabur, Injil dan
Al-Quran.
Aksara pertama yang
berhasil ditemukan oleh para filolog dan sejarawan adalah “Aksara Paku” yang
dimiliki oleh bangsa Sumeria, Mesopotamia, Irak bagian selatan, antara sungai
Tigris dan Efrat, sekitar tahun 4500 SM – 1750 SM. Pada awalnya, bangsa Sumeria
menuliskan Aksara tersebut untuk keperluan transaksi perdagangan yang mereka
tuliskan guna mengingat hal-hal yang terkait dengan kegiatan perdagangan yang
mereka jalankan. Selanjutnya, sekitar tahun 2500 SM, Aksara Paku tersebut
dilanjutkan penggunaannya oleh bangsa Akadia, Babilonia. Dan kebanyakan contoh
tulisan aksara paku yang ada dan tersimpan hingga sekarang berasal dari bangsa
Akadia, bukan berasal dari bangsa Sumeria.[6]
Mesir sebagai pusat
peradaban dunia menyumbangkan aksara kuno yang berupa “Hieroglif” atau Aksara
Mesir Kuno yang sangat terkenal karena keindahan bentuknya yang mengesankan,
penuh dengan gambar-gambar yang cukup jelas yang dapat menceritakan
kejadian-kejadian para raja. Aksara hieroglif kebanyakan digunakan untuk
monumen dinding istana dan kuil penyembahan. Patung dewa dan patung raja, serta
makam para raja. Para filolog dan sejarawan menduga, bahwa aksara Mesir Kuno
masih ada kaitan atau dengan kata lain mengambil prinsip silabis dari aksara
paku bangsa Akadia. Aksara Mesir Kuno ini diperkirakan oleh para filolog dan
sejarawan digunakan sekitar tahun 3400 SM. Aksara Mesir Kuno ini terdari dari 26 konsonan yang secara teknik
pembacaannya hampir sama dengan aksara paku bangsa Sumeria dan Akadia dengan beberapa
perbedaan. Persamaannya adalah kedua aksara ini (aksara Akadia dan Mesir Kuno)
terletak pada penggunaan grafem yang disebut “penentu” yang berguna untuk
memudahkan para pembacanya.[7]
Sekitar tahun 1700 SM – 1500 SM,
munculah alfabet Semitik Utara atau Aksara Semitik dalam bahasa Semit. Aksara
ini masih serumpun dengan aksara Aramaik, Phoenicia, Nabthi, dan Arab yang
sama-sama dituliskan dari kanan ke kiri dan tanpa tanda vokal. Pemberian tanda
vokal baru kemudian untuk menghindari salah
baca dan mempermudah pembacaan teks-teks penting, terutama teks-teks
yang menyangkut keagamaan.[8]
Bangsa Aramaik dan bangsa Arab
mempunyai kedekatan yang cukup romantis dalam bahasa dan aksara. Kedua bangsa
ini pada sekitar tahun 150 SM bahu-membahu untuk mendirikan kerajaan yang
berpusat di Petra, daerah Sinai, Arabia Utara. Bahasa sehari-hari yang digunakan pada saat itu adalah bahasa Arab,
akan tetapi untuk kepentingan penulisan dokumentasi dan administarsi kerajaan
masih menggunakan aksara Aramaik. Kerajaan yang mereka bangun ini meraka beri
nama Kerajaan Nabthi, yang kemudian hari bahasa masyarakat yang membangun
peradaban baca-tulis di kerajaan ini oleh para filolog di sebut bahasa dan
aksara Nabthi. Bahasa dan aksara Nabthi inilah yang secara langsung menurunkan
bahasa dan aksara Arab. Transformasi aksara Nabthi menjadi aksara Arab terjadi
sekitar abad ke-4 dan abad ke-5. Perbedaan aksara kedua bangsa Nabthi dan Arab
adalah bahwa alfabet bahasa Nabthi menggunakan 22 konsonan, sementara
alfabet bahasa Arab menggunakan 28
konsonan. Perbedaan ini tentunya dengan menghitung huruf lam (ل) dan lam alif (لا) pada
aksara Arab sebagai dua huruf. Sementara aksara lam alif (لا) dalam
aksara Nabthi tidak ditemukan.[9]
Ketika bangsa Arab telah memiliki aksara untuk merekam bahasa yang mereka
gunakan, pada saat itulah Allah swt berfirman pada Rasul-Nya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam”.[10]
Aksara sebagai sistem tanda-tanda
grafis yang dipakai manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili
ujaran[11]
(ungkapan), yang terus mengalami perkembangan dan transformasi sepanjang zaman,
dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Seperti aksara Latin yang kita gunakan
saat ini, secara bentuk dan bukan pengucapan, adalah hasil transformasi dari
bangsa lain dan bukan merupakan hasil daya cipta bangsa kita sendiri.
Bangsa India adalah salah satu bangsa yang pernah memberikan sumbangsih
trasformasi aksara Nusantara. Akan tetapi aksara India sendiri bukanlah aksara
yang berdiri sendiri sebagaimana aksara Arab. Akan tetapi merupakan sebuah
transformasi yang cukup panjang dari bangsa lain. Dan beberapa peneliti
menegaskan bahwa Aksara Jawa adalah sebuah bentuk trasnformasi dari aksara
India.[12]
PENULIS:
Muhamad Mukhtar Zaedin
[2] Lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1990, hlm. 16.
Lihat juga Sistem Tulisan, Abay D. Subarna, dkk., Lembaga Pendidikan Seni
Nusantara, 2006, hlm. 177.
[4] Secara etimologi, shuhuf
berarti Muka atau Halaman Buku. Akan tetapi shahif berarti permukaan
tanah, dan shihaf berarti piring besar. (Kamus Al-Munawwir 1984, hlm.
818) Mungkinkah shuhuf yang
diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi
Adam as dituliskan diatas permukaan tanah? Hal ini berkaitan dengan
Aksara yang pertama ditemukan di Mesopotamia (antara sungai Tigris dan Efrat,
termasuk sebagian Turki dan Syiria) sekitar tahun 4500 SM – 1750 SM (Subarna
2006, hlm. 11) Menurut Syekh Nawawi Banten yang menjadi guru para ulama di
Nusantara, jumlah kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah swt kepada para rusul
berjumlah 104 kitab, pendapat lain 114. Imam Suhaemi berpendapat: “Yang paling
sahih (benar) adalah tidak membatasi kitab-kitab yang diturunkan dengan
bilangan yang pasti, maka (sebaiknya) tidak boleh bahwa kitab-kitab itu
berjumlah 104 saja, karena jika kamu memperhatikan (meneliti) riwayat-riwayat
(dari hadis dan atsar) yang menceritakan kitab-kitab tersebut, maka kamu akan
temukan jumlahnya (bisa) mencapai 184 kitab, Syekh Nawawi, Nur
al-Dhalam, hlm. 21, dan Kasyifah al-Sajaa, hlm. 11.
*** Informasi lebih lanjut hubungi 081 322 990 419 atau 081 911 312 907 (Muhamad Mukhtar Zaedin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar