Ibnu
Arabi, dengan segala kekurangannya yang sekaligus menjadi kekuatannya, adalah tokoh
yang bagi banyak orang, mungkin juga saya, yang sulit atau bahkan tidak mampu
membaca pokok pikirannya yang universal, yang dijelaskan dengan rumus-rumus
yang terangkum dalam istilah-istilah atau terminologi yang sulit disepakati,
jika tidak ditentang, oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan pola pikirnya,
atau orang-orang yang merasa terancam terhadap perkembangan pemikiran Ibnu
Arabi yang teramat jauh, di samping juga berani, melampaui batas-batas
pemahaman yang mapan menurut para penentang dan pengagumnya, sekalipun sebagian
kalangan dari para pengagum Ibnu Arabi terus menggali ulang terhadap karyanya
hingga kini. Kelompok ini adalah kelompok pengagum Ibnu Arabi yang tidak
mengharamkan membaca dan mempelajari karya Ibnu Arabi. Atau istilah-istilah
yang digunakan oleh Ibnu Arabi sama dengan, atau mendekati, istilah-istilah
yang dipergunakan oleh sekelompok paham yang dianggap sesat, jika tabu untuk
dikatakan kafir, dan sekaligus oleh orang-orang di luar Islam dan di luar paham
Islam,[1]
hingga akhirnya Schimmel menegaskan: penafsiran tepat bagi pemikiran Ibnu Arabi
itu sulit (Schimmel, 334). Jadi, bagaimana untuk menyimpulkan isi karyanya?
Ibnu
Arabi merupakan pribadi yang unik yang menyita banyak polemik, banyak para
sarjana yang tenggelam dalam lautan rahasia yang diciptakan olehnya dan mereka
bingung dalam mengurai dan menjabarkan rumus-rumus yang diisyaratkan dengan kemilau
bahasa yang timbul dari ilmu tanggaprasanya. Polemik pemikiran Ibnu Arabi
adalah polemik terpanjang dan terlaris yang pernah dan masih terjadi dalam
perjalanan sejarah dan pemikiran Islam hingga saat ini. Penentangan kepada Ibnu
Arabi lebih disebabkan karena Ibnu Arabi adalah seorang penulis yang produktif
yang karya-karyanya kurang lebih mencapai 290 judul, bahkan Syekh al-Gurab
menyebutkan sebanyak 400 judul (al-Dīwān, hlm. 5), yang terdiri dari berbagai
disiplin ilmu dengan ketebalan yang berbeda,[2]
dan kebetulan karya-karya tersebut tidak bersahabat dan berseberangan dengan
pemahaman kebanyakan para ulama. Sehingga mereka khawatir karya-karya itu dapat
menyebar luas dan mempengaruhi itikad dan akidah umat Islam. Walapun paham wahdatul
wujud bukanlah milik Ibnu Arabi, namun memang Ibnu Arabi adalah juru bicara
yang mahir dalam hal paham ini. Dan anehnya, Ibnu Arabi sendiri mengingkari
bahwa dirinya penganut paham hulūl dan ittihād, yang disebut juga
wahdah (al-wujūd).[3]
Dari bukti terbesar atas ketiadaan hulūl dan itihād yang diduga
oleh sebagian orang-orang adalah bahwa “kamu mengerti secara logika bahwa
sesungguhnya bulan tidak terkait sama sekali dengan cahaya matahari dan bahwa
matahari pun tidak berpindah secara dzati ke dalam bulan, hanya saja
adanya bulan merupakan tempat bagi (pantulan) matahari. Seperti itulah hamba,
dalam dirinya tidak ada sedikit pun dari Sang Khalik dan Sang Khalik pun tidak
bertempat dalam diri hamba-Nya.”[4]
Karya-karya
Ibnu Arabi yang begitu banyak akan mengancam sebagian eksistensi para penganut
paham dhahiri, sehingga mereka mengarahkan umat Islam untuk menjauhi
karya-karya Ibnu Arabi dengan cara yang cukup keji dan pengkafiran Ibnu Arabi
oleh mereka merupakan siasat yang perlu diterapkan dan menjadi satu langkah
yang ditempuh agar umat Islam memutuskan hubungan dengan Ibnu Arabi. Karena
itulah Imam Sya’rani membuat sebuah klarifikasi dan pembelaan terhadap
pemikiran Ibnu Arabi dengan beberapa karangannya dan di antaranya adalah al-Yawāqīt
wa al-Jawāhir.[5] Sehingga Ibnu
Hajar pun merasa terusik dan perlu membuat sebuah pernyataan yang cukup lantang
demi membela Ibnu Arabi dengan mengatakan: “Seakan-akan mereka tidak mengerti
pemikiran Ibnu Arabi, atau mereka tidak sempat membaca Fushus,”[6]
atau seluruh gagasan Ibnu Arabi yang universal yang tidak dapat ditangkap
secara keseluruhan oleh mereka.[7]
Sayangnya, tidak ada orang yang mampu
menyebutkan seluruh karya yang pernah ditulis Ibnu Arabi. Namun demikian, Syekh
Yusuf al-Nabhānī adalah orang yang mampu menghadirkan judul-judul karya Syekh
Akbar lebih banyak dari para pendahulunya, beliau menyebutkan 220 judul karya
Ibnu Arabi yang diijazahkan kepada Sultan Mudhafar Ibnu al-Mālik al-‘Ādil
al-Ayyūbī yang dilakukan di bulan Muharram, 632 H. Dan bahkan masih banyak yang
belum diijazahkan kepadanya.[8]
Dalam
karya ini pun kita sulit untuk menempatkan Ibnu Arabi dalam sebuah kelompok
pemikiran. Dalam Hill al-Rumūz Mafātīh al-Kunūz ini bisa kita saksikan
bagaimana Ibnu Arabi memandang sebuah masalah dengan pemikirannya yang
dualistik, tanāqudl, dan saling berseberangan. Jika diibaratkan,
pemikiran Ibnu Arabi itu seperti sebuah bumi yang memiliki berbagai penjuru dan
arah, masing-masing orang dalam arah dan penjuru bumi merasa bahwa dirinya
merupakan bagian dari bumi, tetapi tidak merasa berada di bagian belahan dan
penjuru yang lain. Bumi itu pokok pikiran dan penjuru atau belahan bumi itu
adalah bagian-bagian dari pemikirannya. Karena itulah, sebelum memulai untuk
mengomentari Fushus, Syekh al-Ghurab
menulis, “Dipersembahkan kepada Syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi, qaddasa
Allah sirrah al-‘azīz, yaitu seorang lelaki (rajul, wali) yang memenuhi
dan menyibukkan dunia selama 8 abad, yang manusia tidak pernah berselisih
tentang seseorang semenjak berhentinya kenabian dengan hal yang sama seperti orang
berselisih tentang diri Ibnu Arabi. Sementara diri Ibnu Arabi itu adalah sosok
yang dalam dirinya terdapat cermin ke-muhammadiyah-an dengan sejernih-jernihnya
dan sosok yang istiqamah. Maka seseorang tidak melihat diri Ibnu Arabi
selain dirinya sendiri, dan orang tidak berbicara tentang Ibnu Arabi selain
bahwa Ibnu Arabi telah ada sebelumya.”[9]
[1] Addas, hlm. 412-417; Schimmel, hlm.
333-347; al-Ghurab, al-Fiqh ‘Ind al-Syekh al-Akbār
Muhyiddin Ibnu Arabi, hlm.
9-10; al-Dimasyqi, Syadzarāt al-Dzahab fī
Akhbāri Man Dzahab, jilid VII, hlm. 335; al-Dzahabī,
Tārīkh al-Islām,
jilid XLVI, hlm.
380; Ibnu Taimiyah, Bughyah al-Murtād, hlm. 106-135.
[4] Al-Dimasyqi, Syadzarāt
al-Dzahab, jilid VII, hlm. 347.
[5] Ibid.
[7] Addas, Mencari Belerang Merah:
Kisah Hidup Ibnu Arabi, hlm. 412-417.
[8] Al-Futūhāt
al-Makiyyah, jilid I, muqaddimah, hlm. 7. Lihat juga Jami’ Karamāt
al-Auliā, jilid I, hlm. 163-169.
[9]
Al-Ghurab, Syarah Fushus al-Hukam, muqaddimah, hlm. 3.
PENULIS:
Muhamad Mukhtar Zaedin
Dr. Harapand Dahri, M.Ag
*** Informasi lebih lanjut hubungi 081 322 990 419 atau 081 911 312 907 (Mukhtar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar