RESENSI:
Pengantin Cirebon merupakan bagian dari adat yang telah diselenggarakan
turun-temurun di
Cirebon. Keberadaan Cirebon sendiri yang merupakan Caruban (campuran), merupakan tempat berkumpulnya berbagai macam
orang beserta budayanya telah berlangsung sejak abad prasejarah, sejarah serta
perkembangan yang menonjol di Cirebon adalah pada abad ke-5 dan 15. Cirebon
yang saat itu bernama Caruban Nagari, dipimpin oleh seorang wali terkemuka,
dengan Keraton Pakungwati sebagai tempat pemerintahannya.
Sebagaimana lazimnya orang yang hidup bermasyarakat, mereka akan menciptakan budaya,
peradaban beserta produknya. Pernikahan
adalah gerbang awal untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah.
Secara fitrah, manusia berkeinginan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, kebutuhan untuk
melangsungkan keturunan, serta kebutuhan untuk memperoleh ketentraman dari
pasangan hidupnya dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat menuntut
adanya sistem norma dan nilai. Sejak itulah muncul yang dinamakan pernikahan.
Pernikahan dari hari ke hari secara terus-menerus, turun-temurun, kemudian berkembang seiring kondisi
lingkungan dan nilai yang dianutnya, sehingga kemudian muncullah produk budaya
dalam pernikahan. Semisal adanya ritual khusus sebelum dilangsungkannya
pernikahan.
Berkembangnya Cirebon sebagai sebuah kesultanan pada abad ke-16 turut
mempengaruhi perkembangan sejarah dan budaya dalam hal pengantin Cirebon. Adanya
suatu kesultanan tentu secara tidak langsung menciptakan suatu sistem tertentu
di masyarakat. Sehingga antara adat yang dipegang oleh masyarakat di keraton
tentu berbeda dengan adat masyarakat pada umumnya. Hal itu juga berpengaruh terhadap perkembangan tata
rias dan upacara adat di Cirebon. Sehingga di Cirebon terdapat beberapa jenis
pengantin, yaitu pengantin cilik/
pengantin pesisir, pengantin keratonan, pengantin Cina, pengantin sunat,
bahkan pengantin tebu.
Pengantin keratonan terdiri dari Kepangeranan
dan Kebesaran.
Upacara Pengantin Kebesaran
beserta adatnya adalah upacara pengantin Cirebon yang biasanya dilaksanakan
oleh keluarga keraton Cirebon. Biasanya mereka (pada zaman dulu) membuat baju
mereka sendiri. Khusus pengantin perempuan, mahkota/siger/aba-aba suri-nya
menggunakan aba-aba suri yang
digunakan secara turun-temurun.
Aba- aba suri bagi para pengantin
yang keturunan raja-raja Cirebon (pasangan laki-laki dan perempuannya berasal
dari kalangan keraton Cirebon) atau anak-anak raja, mereka menggunakan aba-aba suri dari emas bertatahkan berlian dengan ornamen yang
sangat indah dan khas. Namun bagi mereka yang menikah dengan hanya salah
satunya pengantin perempuan saja yang berasal dari keraton Cirebon, aba-aba suri yang dipakai adalah aba-aba suri imitasi yang terbuat dari
perak.[1]
Perias pengantin kedua mempelai, khusus untuk kalangan keluarga keraton
haruslah perempuan, tidak boleh dirias oleh perias laki-laki.
Busana yang digunakan pada adat pengantin Kebesaran merupakan busana
yang tidak lepas dari nilai filosofi yang terkandung di dalamnya. Begitu pula
dengan busana pengantin Kepangeranan.
Namun keduanya menggunakan busana yang tentu saja berbeda. Busana pengantin Kebesaran Cirebon lebih terbuka
(pengantin perempuan menggunakan dodot)
sedangkan busana pengantin Kepangeranan
menggunakan busana yang lebih tertutup (pengantin perempuan menggunakan
kebaya).
Masyarakat
pada umumnya, mereka biasanya menggunakan pakaian dan adat pengantin Cirebon Kepangeranan. Aba-aba suri yang digunakan oleh pengantin perempuan pada
masyarakat umum biasanya aba-aba suri yang terbuat dari kuningan yang bentuknya
mirip dengan aba-aba suri milik keraton.
PENULIS:
Drh. Dyah Komala Laksmiwati, dkk
[1] Berdasarkan referensi dan penuturan Hj. Rt.
Meidinah, keturunan Keraton Kanoman dan Keprabonan yang menikhan dengan R. Soebawono dari
Solo.
*** Informasi lebih lanjut hubungi 081 322 990 419 atau 081 911 312 907 (Muhamad Mukhtar Zaedin)