Rabu, 20 November 2013

Pengantin Cirebon



 RESENSI:


Pengantin Cirebon merupakan bagian dari adat yang telah diselenggarakan turun-temurun di Cirebon. Keberadaan Cirebon sendiri yang merupakan Caruban (campuran), merupakan tempat berkumpulnya berbagai macam orang beserta budayanya telah berlangsung sejak abad prasejarah, sejarah serta perkembangan yang menonjol di Cirebon adalah pada abad ke-5 dan 15. Cirebon yang saat itu bernama Caruban Nagari, dipimpin oleh seorang wali terkemuka, dengan Keraton Pakungwati sebagai tempat pemerintahannya.
Sebagaimana lazimnya orang yang hidup bermasyarakat, mereka akan menciptakan budaya, peradaban  beserta produknya. Pernikahan adalah gerbang awal untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah. Secara fitrah, manusia berkeinginan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, kebutuhan untuk melangsungkan keturunan, serta kebutuhan untuk memperoleh ketentraman dari pasangan hidupnya dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat menuntut adanya sistem norma dan nilai. Sejak itulah muncul yang dinamakan pernikahan.
Pernikahan dari hari ke hari secara terus-menerus, turun-temurun, kemudian berkembang seiring kondisi lingkungan dan nilai yang dianutnya, sehingga kemudian muncullah produk budaya dalam pernikahan. Semisal adanya ritual khusus sebelum dilangsungkannya pernikahan.
Berkembangnya Cirebon sebagai sebuah kesultanan pada abad ke-16 turut mempengaruhi perkembangan sejarah dan budaya dalam hal pengantin Cirebon. Adanya suatu kesultanan tentu secara tidak langsung menciptakan suatu sistem tertentu di masyarakat. Sehingga antara adat yang dipegang oleh masyarakat di keraton tentu berbeda dengan adat masyarakat pada umumnya. Hal itu  juga berpengaruh terhadap perkembangan tata rias dan upacara adat di Cirebon. Sehingga di Cirebon terdapat beberapa jenis pengantin, yaitu pengantin cilik/ pengantin pesisir, pengantin keratonan, pengantin Cina, pengantin sunat, bahkan pengantin tebu. Pengantin keratonan terdiri dari Kepangeranan dan Kebesaran.
Upacara Pengantin Kebesaran beserta adatnya adalah upacara pengantin Cirebon yang biasanya dilaksanakan oleh keluarga keraton Cirebon. Biasanya mereka (pada zaman dulu) membuat baju mereka sendiri. Khusus pengantin perempuan, mahkota/siger/aba-aba suri-nya menggunakan aba-aba suri yang digunakan secara turun-temurun. Aba- aba suri bagi para pengantin yang keturunan raja-raja Cirebon (pasangan laki-laki dan perempuannya berasal dari kalangan keraton Cirebon) atau anak-anak raja, mereka menggunakan aba-aba suri dari emas bertatahkan berlian dengan ornamen yang sangat indah dan khas. Namun bagi mereka yang menikah dengan hanya salah satunya pengantin perempuan saja yang berasal dari keraton Cirebon, aba-aba suri yang dipakai adalah aba-aba suri imitasi yang terbuat dari perak.[1] Perias pengantin kedua mempelai, khusus untuk kalangan keluarga keraton haruslah perempuan, tidak boleh dirias oleh perias laki-laki.
Busana yang digunakan pada adat pengantin Kebesaran  merupakan busana yang tidak lepas dari nilai filosofi yang terkandung di dalamnya. Begitu pula dengan busana pengantin Kepangeranan. Namun keduanya menggunakan busana yang tentu saja berbeda. Busana pengantin Kebesaran Cirebon lebih terbuka (pengantin perempuan menggunakan dodot) sedangkan busana pengantin Kepangeranan menggunakan busana yang lebih tertutup (pengantin perempuan menggunakan kebaya).
Masyarakat pada umumnya, mereka biasanya menggunakan pakaian dan adat pengantin Cirebon Kepangeranan. Aba-aba suri yang digunakan oleh pengantin perempuan pada masyarakat umum biasanya aba-aba suri  yang terbuat dari kuningan yang bentuknya mirip dengan aba-aba suri  milik keraton.
PENULIS:
Drh. Dyah Komala Laksmiwati, dkk

[1] Berdasarkan referensi dan penuturan Hj. Rt. Meidinah, keturunan Keraton Kanoman dan Keprabonan yang menikhan dengan R. Soebawono dari Solo. 
 

*** Informasi lebih lanjut hubungi 081 322 990 419 atau 081 911 312 907 (Muhamad Mukhtar Zaedin)