Sabtu, 31 Desember 2011

Suluk Cirebon (Masih terkait dengan Naskah Bujang Genjong)


Suluk di Cirebon dipahami sebagai tembang (pupuh) yang berisi ajaran tarekat[1] yang menggunakan simbol-simbol. Simbol-simbol yang dipakai dalam naskah Bujang Genjong ini tentunya bertujuan untuk mempermudah alur pemikiran atau prosesi yang harus dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan ajaran suluknya. Hal ini dilakukan karena kebanyakan orang tua zaman dahulu tidak bisa baca tulis dan susah untuk di ajak berteori dan berdefinisi. Artinya, jika suatu pengertian tentang ‘nafsu’ diajarkan dengan teori dan definisi, maka kebanyakan orang tua zaman dahulu tidak dapat memperoleh pemahaman dan gambaran yang jelas untuk dijadikan pegangan dalam melaksanakannya. Simbolisasi ajaran secara figuratif memungkinkan untuk memberi gambaran dan pemahaman dengan cepat dan dapat dihayati dengan mudah. 
 
Akan tetapi metode simbolisasi yang di pilih mempunyai konsekuensi dalam penyampian materi yang hendak diajarkan. Jika kita mengakui bahwa suluk itu sendiri bahasa Arab, maka dalam konteks ‘suluk’ ini, kemasan apa yang mudah diterima dengan baik oleh masyarakat Cirebon pada masanya. Dalam kasusasteraan Arab, banyak pilihan yang bisa diambil untuk itu. Akan tepai, pada saat yang sama, kondisi Masyarakat Cirebon (mungkin juga saat ini, dan Nusantara pada umumnya) bisa dikatakan (bila dibandingkan dengan semenanjung Hijaj) belum bisa diajak bernadhom (berpupuh Arab) dengan penuh pemahaman dan penghayatan yang tinggi. Sehingga Bujangga mengambil macapat  sebagai penggantinya. Kemudian para Bujangga menuliskannya dalam naskah yang mereka sebut sebagai ‘kitab’. Jadi, disamping persoalan di atas, alasan lain yang menjadi tujuan penulisannya adalah supaya kitab ini diminati oleh orang yang membacanya dan enak di telinga orang yang mendengarnya[1].
 
Dalam tasawuf , suluk merupakan suatu perjalanan yang penuh rintangan menuju kedekatan Allah swt[1]. Sungguhpun kita yakin bahwa Allah swt Maha Dekat dan Maha Jelas, akan tetapi hakikat kedekatan, kejelasan serta keagungan Allah swt tidak dapat ditemukan, dicerna, dan digambarkan dengan akal pikiran. Akal pikiran mempunyai batas nalar dalam menjangkau sesuatu yang dipahami[2]. Hal yang paling sederhana adalah saat kita masih anak-anak, kita tidak pernah tahu apa yang dikerjakan oleh orang dewasa. Dan kita sebagai orang dewasa, tidak pernah tahu apa yang sudah Allah swt berikan kepada para nabi,  para wali, dan orang shaleh tentang keutamaan kasih-sayangNya, terlebih hakikat dari semua anugerah keutamaan itu.
Secara amalyahi, suluk adalah cara untuk menerima limpahan rahmat Allah swt yang berupa maklumat ilaahiyah[3], pengetahuan ilahi, seperti yang telah Allah swt berikan kepada Nabi Adam as, “Dan Dia (Allah swt) telah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya” (QS:2 [al-Bakoroh] :31).  Hal yang sama dengan kapasitas yang berbeda, akan dilakukan oleh Allah swt kepada manusia ketika betul-betul menjadi anak Adam as, bukan anak Iblis. Ketika anak Adam as bersikap seperti Adam, maka Allah swt akan bertindak sebagaimana yang sudah Allah swt lakukan terhadap Adam as. Dan dengan lantaran dan kekhususan maklumat ilahiyah terhadap manusia inilah, para malaikat diperintah bersujud kepada Adam as[4]. Limpahan anugerah yang berupa maklumat ilaahiyyah bagi salik (orang yang menjalankan suluk) seringkali mendapat hambatan dan rintangan. Hambatan dan rintangan bisa berupa anugerah kecil yang sangat berharga menurut dirinya. Padahal itu hanya perhentian (manazil) yang menipu dayakan dirinya saja. Sehingga ada penegasan yang mengarahan salik untuk tidak terperdaya oleh karomah (kekuatan dahsyat) sekalipun segudang, dan terus mendorongnya dalam koridor istiqomahi (kontinuitas, tetap selalu) dalam suluknya, al istiqomah khoirun min alfikaromah, istiqomah lebih baik dari seribu karomah.
 
Rokhmin Dahuri dkk. dalam BBSAD telah meletakan naskah Bujang Genjong ini kedalam kelompok karya suluk yang berorientasi pada perjalanan spiritual yang dilambangkan dengan simbol-simbol[1]. Jika kita membicarakan suluk, sebenarnya ruang yang diberikan oleh khazanah kebudayaan kita sangat luas, sehingga ‘tembang’ dalang dan sinden dalam pagelaran wayang dan kesenian lain seperti brahi, dikategotikan oleh seniman dan budayawan Cirebon dalam kelompok suluk, akhirnya kata ‘suluk’ menjadi lumrah untuk menyebutkan hal-hal yang berbau tembang, misalnya Suluk Pedalangan, Suluk Gotoloco, Suluk Abdul Jalil, Suluk Sunan Kalijaga, Suluk Sunan Bonang, Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon dan lain-lain.
Pengelompokan yang dilakukan oleh Rokhmin Dahuri dkk. telah mengawali khazanah baru dalam dunia suluk Cirebon. Suluk naskah Bujang Genjong yang menggunakan tembang macapat  sebagai bentuknya, menjadi sangat orsinil karya Bujangga Cirebon yang adi luhung. Beberapa tempat yang disebut dan beberapa pribahasa yang digunakan melebur kedalam kejiwaan Cirebon dengan lebih kental dan menonjolkan sifat kedaerahan yang baik.


[1] Lihat Rokhmin Dahuri dkk. Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon 2004, hlm. 223-230.


[1] Al-Ghazali 3, 1991, hlm.10.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid. Lihat juga al-Quran (2): ////



[1] Ibid, hlm. 227.


[1] Ibid, hlm. 224.

Jumat, 30 Desember 2011

Esoteris Topeng Cerbon


Nilai esoteris topeng Cirebon terekam dalam panca wanda. Panca Wanda adalah lima kepribadian yang berkembang dalam diri seseorang. Kaitan nilai psikologi topeng Cirebon sangat erat hubungannya dengan perkembangan kepribadian manusia. Nilai perkembangan psikologi manusia dalam panca wanda topeng Cirebon dimulai dengan Panji. Sifat-sifat yang bernilai apa saja yang ada dalam Panji dan linnya? Jawabannya akan dibahas secara gambalang dalam buku ini.

Kitab Assamarkand



Melalui naskah kitab Assamarkand yang dipegang oleh Pusat Konservasi dan Pemanfaatan Naskah Cirebon sedikitnya dapat kita melihat perkembangan ilmu Agama pada saat itu. Dalam naskah ini kita dapat memahami pilar-pilar Agama yang terbagi menjadi Iman, Islam, dan Ihsan dengan metode tanya jawab yang sederhana dan mudah dipahami.  Naskah Assamarkand memberikan ketegasan tentang nilai-nilai pokok Agama yang harus diketahui oleh kita semua.

Keraton Kacirebonan


Latar belakang pendirian, sejarah dan kebudayaan keraton Kacirebonan belum pernah ditulis dalam bentuk buku. Pangeran Raja Kanoman sebagai pendiri Kacirebonan bersama gurunya, Mbah Mukoyim, pendiri Pesantren Buntet adalah orang-orang yang nonkooperatif terhadap Belanda. Adat istiadat dan budaya yang dipertahankan di keraton Kacirebonan adalah sarat dengan ajaran-ajaran Islam yang esensial. Kesemuannya itu perlu di angkat dalam bentuk tulisan sehingga dapat dimengerti oleh generasi penerus yang pada gilirannya memegang tongkat estafet kebeadaan dari keraton Kacirebonan beserta seluruh kegiatannya.

Bendera Carbon


Bendera Cirebon atau Carbon dalam pandangan beberapa budayawan, Pangeran Suleman Sulendra Nigrat, adalah macan ali, padahal, menurut Kartani, yang tertulis dalam naskah Purwaka Caruban Nagari adalah Singa Barwang Dwaji Lullah. Disamping perdebatan tersebut diatas, Bendera Carbon memiliki arti yang cukup mendalam dalam setiap guratan kaligrafi yang memuat ayat-ayat al-Qur’an. Ayat-ayat yang diukir dengan kaligrafi inilah yang telah memicu semangat pantang menyerah bagi pasukan-pasukan Carbon saat berperang dengan lawan-lawannya.

Bujang Genjong


Naskah yang satu ini mengejutkan kami, karena naskah ini bukan saja membicarakan sepenggal kisah kehidupan Cirebon masa lalu, bahkan mampu merumuskan dengan konsep yang sangat sederhana tentang ajaran manunggal. Kesederhanaan konsep itu tercermin dalam penggambaran persatuan makna bahasa Cirebon dengan Sunda yang berujung pada satu makna, artinya, satu benda atau makna dapat disebut dengan kata yang berbeda dalam dua bahasa. Disisi lain ungkapan-ungkapan yang sangat bijak banyak kita jumpai didalamnya, ungkapan itu diantaranya adalah; wayang amot wewayangan, pangaweruhe kinaweruhan, dan lain-lain.

Tokoh Perempuan Cirebon


Tokoh-tokoh perempuan Cirebon semenjak zaman pra Cirebon, yaitu; zaman nagari-nagari, kemudian saat didirikannya nagari Caruban Larang samapai masa pemerintahan sultan-sultan Cirebon, kesemuanya itu belum ditampilkan. Sejarah maupun kiprah tokoh-tokoh perempuan Cirebon untuk diteladani bagi kita yang hidup dimasa sekarang maupuin generasi penerus dimasa yang akan datang.

Lukis Kaca Dan Ukur Kayu Cirebon


Goresan batin dari para salik para pengikut tarekat cirebon telah dituangakan dalam wujud lukis kaca maupoun ukur kayu. Hal inilah yang perlu diapresiasikan kepada para penikmat lukis kaca mauoun ukir kayu Cirebon melaul;ui pemaparan buku ini.

Sahadat Cerbon


Sahadat Cirebon, secara bahasa adalah menyaksikan Cirebon. Secara istilah adalah doa-doa atau bacaan yang diawali dengan kalimat Asyhadu yang memadukan antara bahasa Cirebon dan Arab. Sahadat Cirebon menjadi salah satu alat (suluk) bagi orang tua untuk mencapai ma’rifatullah. Pada saat ini keberadaan Sahadat Cirebon dipertanyakan oleh sebagian kalangan muda Cirebon.

Makna Simbolik Aji-aji Cerbon


Ajaran-ajaran prinsip atau esensial yang direkam dalam: 1. Aji Jaya Sempurna yang merupakan rekaman esensi kepemimpinan islami yang ikhlas pada prosesi upacara adat panjang jimat. 2. bango butak terekam pada patung seekor bango yang melambangkan ilmu dan kekuasaan dengan lambaran syari’at tarekat hakikat dan ma’rifat. 3. Aji sumur kejayan adalah ssatu prinsip hidup memperoleh kejayaan yang langgeng (seumur-umur jaya) dengan cara mencari ridlo orang tua yang direkam dengan sumur kejayan yang kramat di keraton pakungwati. 4. lain-lain paksinagaliman, singabaring, tandu jempana, dan duwaja Cirebon.

Wayang Kulit Cerbon Sebagai Media Dakwah


Keberadaan wayang kulit di Cirebon masih memprihatinkan perlu diperkenalkan kepada generasi muda bahwa wayang kulit Cirebon selain menceritakan sumnberaslinya mahabrata dan ramayana (Galur), juga cerita carangan yang lebih banyak muatan dakwah islamiyah. Wayang yang kental dengan nuansa hindu telah diubah muatannya menjadi islam.

Wayang Cepak Cerbon


Wayang golek cepak berbeda dengan wayang golek purwa yang menceritakan ramayana dan mahabrata, wayang golek cepak menceritakan cerita-cerita amir/menak atau cerita dari timur tengah, legenda daerah Cirebon dan Jawa Barat, cerita kerajaan, cerita Panji,  dan cerita dakwah islamiyah oleh para wali. Wayang Golek cepak hampir punah, karena itu perlu dipopulerkan dan disosialisaikan dengan membuat buku sekaliguis lounching pada saat bedah buku bersamaan dengan pestival wayang golek cepak di keraton Kacirebonan. Dalang wayang golek cepak yang tersisa berdomisili di kabupaten cirebon.

Gaman Cerbon


Buku mengenai informasi tentang senjata atau pusaka yang dipakai o;leh masyarakat Cirebon maupun keraton Cirebon masih belum ada. Naskah keraton yang berbahasa Cirebon myang berbahas Cirebon dan sunda adalah sangat unik dan ;langaka, karena irtulah  perlu dil;akukan a;lih aksara alih bahasa serta penjelasan kontekstualnya.

Tarekat Syattariyah Ratu Raja Fatimah Keraton Kanoman


Tarekat syatariyah ratui raja fatimah adalah tarekat yang bias diamalakan oleh kalaqngan terekat syatariyah diwilayah cirebon dan khususnya diwilayah keraton cirebon. Karena sesuatu hal, manuskrip asli telah hilang, namun salinannya suydah diubuat serta photo manuskrip aslinya telah diguinakan sebagai salah satu bahan untuk menyusun buku tarekat syatariyyah di minangkabanu oleh Dr. Oman Fathurrahman. Usaha penyelamatan perlu dilakukan dengan cara pembuata buku dengan judul tesebut diatas.

Martabat Pitu (Martabat Tujuh)


Ungkapan Insan Kamil didalam naskah dan kehidupan bermasyarakat di Cirebon sangat kental dan masyhur, bahkan Sunan Gunung Jati dibeberapa naskah dipanggil dengan nama Maulana Insan Kamil. Insan Kamil yang berarti manusia sempurna tentu menjadi pertanyaan semua orang. Adakah manusia yang sempurna? Para sarjana Islam sepanjang zaman berdebat tentang kriteria kesempurnaan manusia. Insan Kamil dalam martabat pitu adalah puncak martabat dan kesempurnaan wujud sekaligus tujuan dari penciptaan semesta ini. Kun, wujudlah kamu! Fayakun, maka kemudian dia wujud dalam martabat Insan Kamil.

TETAMBA (PENGOBATAN TRADISONAL VERSI NASKAH CIREBON)


Sunan Gunung Jati adalah seorang wali yang memiliki ilmu dan keterampilan dalam bidang kesehatan/pengobatan. Manuskrip yang kami miliki yang memuat tentang pengobatan warisan leluhur (tetamba) perlu diinformasikan kepada generasi penerus dan ditindak lanjuti dengan penelitian farmakologis, sehingga pengetahuan tetamba ini mempunyai manfaat yang banyak bagi masyarakat. Beck to nature.

Minggu, 25 Desember 2011

Pembukaan Suluk Bujang Genjong (bag ke 3)


Jika kita hendak membanding NBG dengan syair-syair suluk  yang telah ditulis oleh Hamzah Fanshuri, maka tek pelak keduanya mempunyai semangat yang sama dalam hal mengusung wahdatul wujud atau manunggal. Paham teraebut menjadi sangat trend dan dianggap sebagai paham yang tinggi dalam ajaran suluk pada masanya. Walaupun kita juga tahu, pada saat yang sama, ada sekelompok yang menentang paham itu, bahkan dengan menggunakan kekuasaan sebagai alatnya. Sehingga kedua aliran (pro dan kontra wahdatul wujud) saling berebut kesempatan untuk mendapatkan tempat dihati para penguasa. Namun demikian, keduanya (NBG dan Syair Hamzah Fanshuri) mempunyai perbedaan yang cukup mendasar dari segi metode pengajarannya. NBG dengan basis bahasa dan ruang Cirebon yang menjadi latarbelakangnya, menjadi tampak lebih samar dengan paham yang dibawanya. NBG menamsilkan pahamnya dengan menekankan kesamaan antara Jawa dan Sunda, atau dengan kata lain, NBG menegaskan bahwa Jawa (bahasa Jawa Cirebon) dan Sunda sebenarnya satu dalam hidup, tujuan, dan mati. NBG ingin mengatakan bahwa perbedaan Jawa dan Sunda terletak hanya sebatas bahasanya saja, tetapi makna yang dikehendaki dari ucapan yang berbeda itu sebenarnya sama. Untuk itulah, perbedaan bahasa sebenarnya bukan sesuatu yang dapat menjadi hilangnya makna yang sama, yang dikehendaki oleh bahasa yang lain. Jadi, masing-masing bahasa punya kata tersendiri yang dapat menjelaskan makna yang dimaksud oleh bahasa yang lain. Dengan cara beginilah NBG menjelaskan pahamnya tentang tunggal dan siji atau wahdatul wujud. Atau dengan kata lain, kedua bahasa yang berbeda itu sebenarnya punya maksud yang sama, dan tentunya secara lumrah masing-masing bahasa, apabila digunakan, menuju kepada ‘satu makna’ yang dikehendakinya, walaupun didalam kamusnya, kata itu memiliki beberapa dan bahkan puluhan arti.
Dari kuatnya kalimat tamsil yang digunakan NBG, sepertinya NBG bukan ditulis oleh orang yang biasa, tetapi benar-benar Bujangga yang profesional, terampil dan mampu membawa imajinasi pembaca kepada alur pemikiran yang dikehendakinya. Menurut kaidah ilmu sastra, kebesaran seseorang dapat dilihat dari bahasa yang digunakannya. Dengan kata lain, kebijakan bahasa yang dipakai dalam penulisan suatu karya, dapat menjadi tolok ukur bagi penulisnya. Kalimat tamsil yang semacam inilah yang mewarnai isi kitab-kitab Ibnu Arabi, al-Ghazali, Ibnu Athoilah, dan lain-lain sewaktu mereka menjelaskan tentang ilmu mukasyafah, ilmu makrifat, dan hulul yang dianutnya. Hanya saja perbedaan selalu ada diantara sesamanya dalam sebagian masalah yang diutarakan. Namun secara garis besar, metode yang digunakan dalam hal menghadapi kesulitan saat menjelaskan tunggal, kasyaf, atau nyata kepada pembaca, mereka menempuh jalan yang sama. Mereka beranggapan, bahwa ma’rifatul haq sesuatu yang pelik, sehingga sulit untuk dijelaskan dan ditulis dengan kalimat lepas diatas lembaran kertas. Karena didorong oleh rasa ingin berbagi ilmu yang mulia kepada pembaca atau tepatnya murid, penamsilan itu dilakukan oleh mereka, agar pembaca menangkap setetes maksud dari ma’rifatul haq yang diurai dengan tamsil. Untuk bisa merasakan atau menyaksikan secara langsung, maka pembaca atau atau yang disebut dengan istilah murid harus dapat melakukan apa yang telah dikerjakan oleh orang yang mencapai maqom ma’rifat atau maqom kasyaf secara penuh dan konsisten. Maqom ini adalah maqom yang tertinggi dalam ilmu suluk yang berkembang di dunia Islam dibelahan dunia manapun. Akan tetapi, Kartani (2004), menambahkan satu tingkat lagi di atas ma’rifat dengan tingkatan ma’lum atau maklum. Artinya: tingkatan maklum adalah kondisi pemikiran dan kesadaran seseorang tidak lagi fana fil kull (sirna dalam keseluruhan) tertuju hanya kepada Allah swt. semata, tetapi sudah bisa membagi kesadarannya kepada Allah swt. dan makhlukNya. Jadi fana yang dipakai oleh orang yang mencapai maklum adalah fana fil ab’adl (sirna dalam kesebagianan), yaitu seseorang disamping tenggelam dalam musyahadah fillah, dia juga mampu berkomunikasi dengan orang lain secara benar dan lancar.
Suluk- suluk yang mirip dengan NBG banyak terdapat dalam kasuasteraan Cirebon dan Nusantara, khususnya yang berasal dari Aceh, dan kita, khusus Cirebon, dapat mendengarkannya dalam pagelaran Macapat yang sering dilaksanakan oleh kalangan tua Cirebon. Hanya sayangnya adalah kurangnya minat kalangan muda terhadap jenis pagelaran kesenian yang satu ini. Mungkinkah karena pagelaran macapat di Cirebon tergolong sakral, atau bahasa yang dipakai dalam tembang ini tak dapat dimengerti kebanyakan kalangan mudanya. Menurut hemat kami, kesakralan yang ada dalam pagelaran macapat tak perlu menjadi alasan untuk lari dari kesenian yang unik dan menarik ini. Mereka harus coba berusaha mengerti dan masuk di dalamnya agar dapat memberikan perubahan metode pagelaran yang semula sakral menjadi meriah. Anggaplah tembang macapat adalah suatu puisi klasik yang dapat dibaca secara moderen, sebagaimana puisi-puisi yang lain. Memang harus diakui, antara tembang dan puisi sangat berbeda dalam segalanya. Dari segi pembacaan khususnya tembang macapat memang mempunyai aturan yang sangat ketat. Memang idealnya, tembang macapat harus dilantunkan sebagaimana mestinya, karena tembang adalah alunan lagu yang memerlukan kemerduan suara disamping mengerti teknik-teknik pelafalannya. Sementara puisi penekanannya pada inotasi suara yang tidak memerlukan teknik lagu secara khusus. Namun memang ke duanya mempunyai kesamaan dalam kemerduan dan ketegasan suara. Karena itulah, harus dicapai jalan keluar yang dapat menjawab problem yang berkaitan dengan pakem tembang agar bisa--- dengan segala kepantasannya--- diperlakukan sebagaimana puisi modern.

Pembukaan Suluk Bujang Genjong (bag ke 2)


Secara jujur kami akui, NBG yang ada pada kami memang belum tamat dan masih belum tuntas pembahasannya, entah berapa naskah lagi kelanjutannya. Akan tetapi, dari satu naskah ini, kita sudah dapat menangkap ide, gagasan, gambaran prilaku, dan ajaran luhur yang merupakan potret budaya Cirebon yang berkembang pesat pada saat itu. Penekanan pengajaran suluk (tasawuf dalam bentuk tembang) yang bertitik berat pada penamsilan yang begitu nyata mendomonasi naskah ini. Dengan kata lain, penggunaan bahasa ibarat seperti lir, lirpenda, lirkadiya dan terkadang figurative, sangat menyentuh hati dan membuat kita terhanyut dihempasan ombak sastranya. Oleh karena itulah, dibagian lampiran buku ini kami tampilkan NBG dengan tanpa terjemahan dan tafsiran, agar pembaca dapat menikmati alunan kata demi kata yang tersusun dalam NBG secara puitis, bahkan jika kita mau lebih terbuka, dominasi bahasa ibarat yang dipakai NBG menuntun kita ke dalam kesadaran berbahasa yang halus dan indah.
Tentunya penulis NBG, yang hingga saat ini belum kami ketahui, hendak mengajari kita (masyarakat Cirebon khususnya) tentang suluk Cirebon dari segi kalimat dan makna, sehingga warna makna atau prilaku yang dapat dipahami dari NBG mengungkapkan hal-hal yang bernuansa spiritual dan tasawuf. Hanya saja yang perlu digaris bawahi adalah semua prilaku yang digambarkan oleh NBG tak lepas daripada Cirebon sebagai ruang gerak penulisnya. Didamping itu, keterbatasan referensi yang ada atau kurangnya pengetahuan penulis NBG terhadap al-Quran dan Hadits terasa sekali. Namun demikian, semangat ‘bersuluk’ tampaknya cukup kuat dikalangan Islam Cirebon pada saat itu, sehingga NBG-terlepas dari kekurangan dan kelebihannya-menjadi naskah suluk yang khas ala Cirebon. Gagasan dan pemikiran yang tertuang dalam NBG sudah dianggap cukup kuat dan dapat menjelaskan konsep wahdatul wujud yang tumbuh dalam pemikiran tasawuf Timur Tengah menjadi manunggal ala Cirebon yang bisa dipahami berbeda dengan konsep dengan manunggal versi asalnya atau bahkan versi Siti Jenar. Manunggal versi Siti Jenar memang photo copy dari asalnya dengan kertas (bahasa) Jawa yang pada saat itu masyarakatnya masih kuat oleh pengaruh-pengaruh Hindu dalam peristilahan ajaran prinsip ketuhanan. Sehingga muncul anggapan bahwa Islam dan Hindu-Budha sebenarnya sama dalam memandang Tuhannya. NBG memilih jalan yang tergolong sederhana dan dapat dicerna oleh kalangan umum, sehingga kebingungan orang tentang persamaan Islam dan Hindu dalam memandang Tuhannya, dalam konsep menunggal, tak terjadi dalam pengajaran NBG.
Pengajaran dengan model suluk yang digunakan oleh NBG bukan tanpa awal dan permulaan. Di Timur Tengah sendiri, suluk diajarkan dengan tembang atau nadhom-nadhom yang ternyata mendapat respon yang cukup baik dikalangan masyarakat Islam. Ide-ide yang kadang sulit diungkapkan dengan uraian model nastar atau prosa begitu mudah dan lancar di gubah dalam tembang dan nadhom. Sehingga kesalah pahaman antara kelompok (kaum) yang pro wahdatul wujud dan kontra wahdatul wujud dapat dihindari. Menurut al-Banjari, kaum wujudiyyah (orang-orang yang memahami tentang wahdatul wujud) itu ada dua golongan: wujudiyyah mulhid dan wujudiyyah muwahhid. wujudiyyah mulhid termasuk golongan yang sesat lagi zindiq. Wujudiyyah muwahhid, menurut dia, “yaitu segala ahli sufi yang sebenarnya”, mereka dinamakan kaum wujudiyyah ”karena bicaranya dan perkataannya dan itikadnya itu pada wujud Allah”. Ia tidak menjelaskan isi ajaran mereka, tetapi sebagai lawan dari wujudiyyah mulhid tadi, wujudiyyah muwahhid tentu tidak menganggap bahwa Allah tidak “tiada maujud melainkan di dalam kandungan wujud segala makhluk”, atau “bahwa Allah itu ketahuan zat (esensi)-Nya nyata kaifiat-Nya daipada pihak ada. Ia waujud pada kharij dan pada zaman dan makan”, dan tidak pula membenarkan pernyataan-pernyataan seumpama “tiada wujudku, hanya wujud Allah”, dan sebagainya, yang mencerminkan pandagan wujudiyyah mulhid itu. Keterangan al-Banjari mengenai ajaran kaum wujudiyyah mulhid itu kelihatan sangat mirip dengan keterangan ar-Raniri, yang dalam abad sebelumnya menyanggah penganut-penganut di Aceh.
Berdasarkan penjelasan ini, pada dasarnya sama dengan ajaran wahdah al-wujud Ibnu Arabi. Ajaran ini juga memandang alam semesta ini sebagai penampakan lahir Allah dalam arti bahwa wujud yang hakiki hanya Allah saja-alam semesta ini hanya bayangan-bayang-Nya. Dari satu segi, ajaran ini kelihatan sama dengan ajaran tauhid tngkat tertinggi. Kedua ajaran itu memandang bahwa wujud yang hakiki hanya satu-Allah, tetapi dari lain segi wujudiyyah muwahhid dan wihdah al-wujud ini tidak sama dengan pandangan “bahwa yang ada hanya Allah” dalam ajaran yang terakhir ini hanya tercapai dalam keadaan yang disebut fana, yakni terhapunya kesadaran akan wujud yang lain, sedang dalam ajaran wihdah al-wujud, pandangan tersebut kelihatan sebagai hasil penafsiran atas fenomena alam yang serba majemuk ini. Di samping itu, pandangan tauhid tingkat tertinggi itu, nampaknya didasarkan atas asumsi bahwa esensi Allah yang mutlak itu dapat dikenali secara langsung, tanpa melalui penampakan lahir-Nya, asumsi ini dibantah oleh Ibnu ‘Arabi, karena menurut dia Allah hanya bisa dikenal melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. (Naskah Klasik Keagamaan Nusantara I Cerminan Budaya Bangsa, Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Puslitbang Lektur Keagamaan, 2005: 49-50).

Pembukaan Suluk Bujang Genjong (bag ke 1)


Rokhmin Dahuri dkk. dalam Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon (BBSAC ), telah menguraikan sebagian dari Naskah Bujang Genjong (NBG). Dalam uraiannya, ajaran manunggal telah disinggung, bahkan Bujang Genjong dan Rara Gonjeng disimbolkan sebagi raga dan jiwa yang selalu saling merindu[1]; merindu akan kebersamaan dan persatuan untuk menjalankan irodah, kehendak[2], untuk selalu bersama dalam kesatuan hakiki. Penggambaran yang manis ini tentunya menjadi awalan bagi inspirasi kami untuk memberi pemahaman yang lebih luas terhadap Naskah Bujang Genjong. Tokoh Bujang Genjong dan Rara Gonjeng dalam kisahnya, memang bisa menjadi lambang kerinduan persatuan yang sangat kuat. Dan apalagi jika kedua tokoh ini hanya semata-mata dipandang sebagai muda-mudi yang sedang menjalin asmara (lihat dalam pupuh Kasmaran, Pupuh ke 10-15).
Penggambaran atau dalam istilah NBG sendiri disebut pewayangan, wayang amot wawayangan, merupakan cara yang paling aman dalam mengurai, menjabarkan, dan menjelaskan kerumitan yang ada, yang tidak mampu diurai dengan kalimat indah. Karena itulah, hal yang sangat tidak logis jika tokoh Bujang Genjong dan Rara Gonjeng dianggap sebagai sebuah nama tanpa maksud, arti, dan tujuan. Dengan melihat arti kata Bujang Genjong, Rara Gonjeng, dan Bujang Lamong, yang secara bahasa yang saling berdekatan maknanya, kita sudah merasakan kesengajaan dari Bujangga[3] NBG untuk memberikan sandi-sandi atau simbol-simbol dari suatu alur pemikiran yang mengarah pada tujuan tertentu. Dan ketika kita mengganggap bahwa nama-nama disusun secara sengaja, maka timbul pertanyaan yang kedua; apa maksudnya? Dengan pijakan seperti inilah kekayaan lokal Cirebon, khususnya NBG, mendapatkan posisi yang layak.
Pemahaman yang diambil BBSAC terhadap NBG tentang manunggal merupakan ide bagi kita untuk melangkah lebih kedalam lagi. Benar sekali, jika BBSAC merasa ada maksud lain dalam alur kisah yang ditulis para pendahulu Cirebon. Dalam konteks terebut, BBSAC merasa perlu mengambil kesimpulan tentang ilmu manunggal; manunggal antara kawula dengan gusti, bisa meloncat naik ke arah manunggaling ilmu antara syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat dalam diri orang Cirebon, dengan kalimat lebih jelas bahkan dikatan sebagai persiapan manusia supaya membekali diri dengan empat ilmu (syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat) dalam bertindak, bergaul, berfikir dan beribadah[4].
Pada masa-masa kemajuan Islam di Cirebon, ajaran Islam yang membumi di hati masyarakat pada umumnya adalah ajaran tasawuf. Islam model inilah yang diterima dan disukai oleh masyarakat Cirebon pada saat itu. Hanya saja, seiring dengan perjalanan waktu, pemikiran-pemikiran baru bermunculan sesuai dengan aliran atau madzhab masing-masing pendatang, dan bahkan benturan pemikiran sering terjadi di Cirebon. Salah satu contoh yang paling populer adalah benturan pemahaman yang terjadi antara Dewan Wali Sanga dengan Syekh Siti Jenar. Benturan antara Syekh Siti Jenar dan Dewan Wali Sanga tidak selesai hingga eksekusi terjadi terhadapnya, dan ketika suatu paham sudah berkembang dalam masyarakat, maka ada penerus yang menggantikannya hingga saat ini. Mungkin hal inilah yang menjadi salah satu  sebab terhadap kalimat tunggal di sebagian naskah Cirebon, NBG termasuk didalamnya, tidak diarahkan kepada manunggal antara gusti dan kawula.
Dari segi sastra, NBG terkategori dalam kelompok karya sastra dengan mengambil bentuk Tembang Macapat[5], dan seperti Tembang Macapat dalam naskah Cirebon yang lain, NBG yang ditemukan di keraton Kacirebonan ini, terbagi menjadi beberapa kelompok tembang, diantaranya: kasmaran, megatruh, pangkur, durma, dan khinanthi; dan diakhir naskah ini ditutup dengan tembang kasmaran.
Kelima jenis tembang yang digunakan dalam NBG memang merupakan tembang yang tergolong dalam jenis tembang tengahan yang lazim disebut Tembang Macapat. Karakter bahasa yang muncul mewarnai NBG tak dapat dikatakan sebagai tembang kawi, karena itulah budayawan Cirebon memastikan NBG sebagai salah satu naskah macapat atau tembang tengahan yang dimiliki oleh Cirebon. Dari penggunaan dan pemilihan bahasa yang semacam inilah NBG terlihat eksclusif sebagai suluk pesisiran Cirebon yang mashur dan berakar pada zamannya.


[1] Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon hlm. 225,226. Perum Percetakan Negara RI 2004.
[2] Al Ghazali dalam Ihya III hlm. 17 berkata, Hati manusia itu terkhusus dengan pengetahuan dan kehendak yang menyebabkannya berbeda dari seluruh hewan.
[3] Kalimat Bujangga di pinjam untuk menjadi istilah bagi penulis tembang macapat agar pembahasan dan kalimat menjadi simpel
[4] Budaya Bahari, hlm. 26.
[5] Tembang Macapat merupakan bagian dari bentuk kesusasteraan Cirebon. Seorang budayawan Cirebon, Kartani, memberi penjelasan bahwa macapat berarti membaca empat-empat, maca papat-papat. Membaca secara empat wanda empat wanda dalam tembang ini sebenarnya sangat sulit dipahami oleh generasi muda sekarang, karena mereka tidak mendapatkan gambaran dalam pemikiran mereka bentuk tehnis membaca empat-empat. Bagi kami, mereka tidak salah sama sekali, karena tidak ada orang yang memberinya pelajaran tentang itu. Tentang Macapat, lihat Rokhmin Dahuri, Budaya Bahari sebuah Apresiasi di Cirebon,  terbitan Perum Percetakan Negara 2004, halm. 116 ,117. lihat juga Yatna Supriatna, Sastra Klasik Cerbon, terbitan Disbudpar Kota Cirebon 2008, hlm. 6,7.

DESKRIPSI NASKAH (tarekat Naqsabandiyah) ke 72 milik Elang Muhammad Hilman


DESKRIPSI NASKAH


1.      Publikasi naskah (dalam katalog atau sumber apa saja judul naskah itu disebut) : -
2.      Kode dan nomor naskah                            : H-11 /petarekan
3.      Judul naskah                                              : Petarekan (Tentang Tarekat)
4.      Pengarang                                                  : -
5.      Penyalin                                                     : -
6.      Tahun penyalinan                                       : -
7.      Tempat penyimpanan                                 : Koleksi pribadi Bp. Muhamad Hilman, S.IP
8.      Asal naskah                                               : warisan keluarga
9.      Pemilik                                                      : Bp. Muhamad Hilman, S.IP
10.  Jenis alas naskah                                        : Kertas Eropa
11.  Kondisi fisik naskah                                   : Tulisan terbaca, kertas baik sebagian kecil pinggir bawah sobek
12.  Penjilidan                                                   :jahit benang, bersampul karton gloss
13.  Cap kertas (watermark)                             : hologram CR bermahkota; Propatria (perempuan dalam pagar menghadap ke kiri)
14.  Garis tebal dan tipis                                    : ada
15.  Jarak garis tebal pertama s.d. keenam        : 15,8 cm
16.  Jumlah garis tipis dalam 1 cm                      : 9
17.  Garis Panduan/blind line atau pensil            : -
18.  Jumlah kuras dan lembar kertas                  : 1 kuras : 38lembar
19.  Penomoran halaman                                   : -
20.  Jumlah halaman                                          : 38 halaman
21.  Jumlah baris dalam setiap halaman              :10-12
22.  Ukuran naskah dalam cm (p x l )                : 28 x 20,5 cm
23.  Ukuran teks dalam cm (p x l)                     : 25 x 17,5 cm
24.  kata alihan / catch word                             : -
25.  Illuminasi / illustrasi                                     : illustrasi bentuk hati
26.  Huruf dan bahasa                                       : Huruf Pegon dan jawa bahasa  Jawa Cirebon  
27.  Jenis tulisan / khat                                      : naskhi
28.  Warna tinta                                                : Hitam ,merah
29.  Ringkasan isi cerita dalam teks                   :
-         metode dan daerah zikir tarekat Naqsabandiyah yang mengacu pada risalah Syekh Baha’ul Haq waddin;
-         puji sekarat yang mengarahkan seluruh kondisi kepada Allah, tentang mati dan menjelang mati,
-         tentang hati cerminan ruh
-         martabat pitu
30.  Catatan lain                                                : -
31.  Kolopon                                                    : -

DESKRIPSI NASKAH (Suluk Cirebon) ke 71 milik Elang Muhammad Hilman


DESKRIPSI NASKAH


1.      Publikasi naskah (dalam katalog atau sumber apa saja judul naskah itu disebut) : -
2.      Kode dan nomor naskah                            : H - 20 
3.      Judul naskah                                              : Suluk Cirebon
4.      Pengarang                                                  : -
5.      Penyalin                                                     : -
6.      Tahun penyalinan                                       : -
7.      Tempat penyimpanan                                 : Koleksi pribadi Bp. Ahmad Hilman, S.IP
8.      Asal naskah                                               : keraton Kacirebonan
9.      Pemilik                                                      : -
10.  Jenis alas naskah                                        : Kertas Eropa
11.  Kondisi fisik naskah                                   : Tulisan terbaca, kertas baik utuh, bersih
12.  Penjilidan                                                   :jahit benang, tidak bersampul
13.  Cap kertas (watermark)                             : GBA & M (anjing bermahkota dalam lingkaran oval)
14.  Garis tebal dan tipis                                    : ada
15.  Jarak garis tebal pertama s.d. keenam        : 16,5 cm
16.  Jumlah garis tipis dalam 1 cm                      :  11
17.  Garis Panduan/blind line atau pensil            : garis nyata berwarna
18.  Jumlah kuras dan lembar kertas                  : 3 kuras : 14 lembar
19.  Penomoran halaman                                   : -
20.  Jumlah halaman                                          : 84 halaman
21.  Jumlah baris dalam setiap halaman              :15
22.  Ukuran naskah dalam cm (p x l )                : 21,5 x 15,5 cm
23.  Ukuran teks dalam cm (p x l)                     : 18,5 x 11 cm
24.  kata alihan / catch word                             : -
25.  Illuminasi / illustrasi                                     : illuminasi flora/pohon, illustrasi dalam kotak-kotak
26.  Huruf dan bahasa                                       : Huruf Arab bahasa  Arab        
27.  Jenis tulisan / khat                                      : Naskhi
28.  Warna tinta                                                : Hitam, merah untuk rubrikasi
29.  Ringkasan isi cerita dalam teks                   : berupa nasyid/nadhaman suluk rifa’i/suluk cirebon
30.  Catatan lain                                                : -
31.  Kolopon                                                    : -