Sabtu, 31 Desember 2011

Suluk Cirebon (Masih terkait dengan Naskah Bujang Genjong)


Suluk di Cirebon dipahami sebagai tembang (pupuh) yang berisi ajaran tarekat[1] yang menggunakan simbol-simbol. Simbol-simbol yang dipakai dalam naskah Bujang Genjong ini tentunya bertujuan untuk mempermudah alur pemikiran atau prosesi yang harus dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan ajaran suluknya. Hal ini dilakukan karena kebanyakan orang tua zaman dahulu tidak bisa baca tulis dan susah untuk di ajak berteori dan berdefinisi. Artinya, jika suatu pengertian tentang ‘nafsu’ diajarkan dengan teori dan definisi, maka kebanyakan orang tua zaman dahulu tidak dapat memperoleh pemahaman dan gambaran yang jelas untuk dijadikan pegangan dalam melaksanakannya. Simbolisasi ajaran secara figuratif memungkinkan untuk memberi gambaran dan pemahaman dengan cepat dan dapat dihayati dengan mudah. 
 
Akan tetapi metode simbolisasi yang di pilih mempunyai konsekuensi dalam penyampian materi yang hendak diajarkan. Jika kita mengakui bahwa suluk itu sendiri bahasa Arab, maka dalam konteks ‘suluk’ ini, kemasan apa yang mudah diterima dengan baik oleh masyarakat Cirebon pada masanya. Dalam kasusasteraan Arab, banyak pilihan yang bisa diambil untuk itu. Akan tepai, pada saat yang sama, kondisi Masyarakat Cirebon (mungkin juga saat ini, dan Nusantara pada umumnya) bisa dikatakan (bila dibandingkan dengan semenanjung Hijaj) belum bisa diajak bernadhom (berpupuh Arab) dengan penuh pemahaman dan penghayatan yang tinggi. Sehingga Bujangga mengambil macapat  sebagai penggantinya. Kemudian para Bujangga menuliskannya dalam naskah yang mereka sebut sebagai ‘kitab’. Jadi, disamping persoalan di atas, alasan lain yang menjadi tujuan penulisannya adalah supaya kitab ini diminati oleh orang yang membacanya dan enak di telinga orang yang mendengarnya[1].
 
Dalam tasawuf , suluk merupakan suatu perjalanan yang penuh rintangan menuju kedekatan Allah swt[1]. Sungguhpun kita yakin bahwa Allah swt Maha Dekat dan Maha Jelas, akan tetapi hakikat kedekatan, kejelasan serta keagungan Allah swt tidak dapat ditemukan, dicerna, dan digambarkan dengan akal pikiran. Akal pikiran mempunyai batas nalar dalam menjangkau sesuatu yang dipahami[2]. Hal yang paling sederhana adalah saat kita masih anak-anak, kita tidak pernah tahu apa yang dikerjakan oleh orang dewasa. Dan kita sebagai orang dewasa, tidak pernah tahu apa yang sudah Allah swt berikan kepada para nabi,  para wali, dan orang shaleh tentang keutamaan kasih-sayangNya, terlebih hakikat dari semua anugerah keutamaan itu.
Secara amalyahi, suluk adalah cara untuk menerima limpahan rahmat Allah swt yang berupa maklumat ilaahiyah[3], pengetahuan ilahi, seperti yang telah Allah swt berikan kepada Nabi Adam as, “Dan Dia (Allah swt) telah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya” (QS:2 [al-Bakoroh] :31).  Hal yang sama dengan kapasitas yang berbeda, akan dilakukan oleh Allah swt kepada manusia ketika betul-betul menjadi anak Adam as, bukan anak Iblis. Ketika anak Adam as bersikap seperti Adam, maka Allah swt akan bertindak sebagaimana yang sudah Allah swt lakukan terhadap Adam as. Dan dengan lantaran dan kekhususan maklumat ilahiyah terhadap manusia inilah, para malaikat diperintah bersujud kepada Adam as[4]. Limpahan anugerah yang berupa maklumat ilaahiyyah bagi salik (orang yang menjalankan suluk) seringkali mendapat hambatan dan rintangan. Hambatan dan rintangan bisa berupa anugerah kecil yang sangat berharga menurut dirinya. Padahal itu hanya perhentian (manazil) yang menipu dayakan dirinya saja. Sehingga ada penegasan yang mengarahan salik untuk tidak terperdaya oleh karomah (kekuatan dahsyat) sekalipun segudang, dan terus mendorongnya dalam koridor istiqomahi (kontinuitas, tetap selalu) dalam suluknya, al istiqomah khoirun min alfikaromah, istiqomah lebih baik dari seribu karomah.
 
Rokhmin Dahuri dkk. dalam BBSAD telah meletakan naskah Bujang Genjong ini kedalam kelompok karya suluk yang berorientasi pada perjalanan spiritual yang dilambangkan dengan simbol-simbol[1]. Jika kita membicarakan suluk, sebenarnya ruang yang diberikan oleh khazanah kebudayaan kita sangat luas, sehingga ‘tembang’ dalang dan sinden dalam pagelaran wayang dan kesenian lain seperti brahi, dikategotikan oleh seniman dan budayawan Cirebon dalam kelompok suluk, akhirnya kata ‘suluk’ menjadi lumrah untuk menyebutkan hal-hal yang berbau tembang, misalnya Suluk Pedalangan, Suluk Gotoloco, Suluk Abdul Jalil, Suluk Sunan Kalijaga, Suluk Sunan Bonang, Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon dan lain-lain.
Pengelompokan yang dilakukan oleh Rokhmin Dahuri dkk. telah mengawali khazanah baru dalam dunia suluk Cirebon. Suluk naskah Bujang Genjong yang menggunakan tembang macapat  sebagai bentuknya, menjadi sangat orsinil karya Bujangga Cirebon yang adi luhung. Beberapa tempat yang disebut dan beberapa pribahasa yang digunakan melebur kedalam kejiwaan Cirebon dengan lebih kental dan menonjolkan sifat kedaerahan yang baik.


[1] Lihat Rokhmin Dahuri dkk. Budaya Bahari Sebuah Apresiasi di Cirebon 2004, hlm. 223-230.


[1] Al-Ghazali 3, 1991, hlm.10.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid. Lihat juga al-Quran (2): ////



[1] Ibid, hlm. 227.


[1] Ibid, hlm. 224.

Tidak ada komentar: