Suluk di Cirebon dipahami sebagai tembang (pupuh) yang
berisi ajaran tarekat[1]
yang menggunakan simbol-simbol. Simbol-simbol yang dipakai dalam naskah Bujang
Genjong ini tentunya bertujuan untuk mempermudah alur pemikiran atau prosesi
yang harus dilakukan oleh seseorang dalam menjalankan ajaran suluknya. Hal ini
dilakukan karena kebanyakan orang tua zaman dahulu tidak bisa baca tulis dan
susah untuk di ajak berteori dan berdefinisi. Artinya, jika suatu pengertian
tentang ‘nafsu’ diajarkan dengan teori dan definisi, maka kebanyakan orang tua
zaman dahulu tidak dapat memperoleh pemahaman dan gambaran yang jelas untuk
dijadikan pegangan dalam melaksanakannya. Simbolisasi ajaran secara figuratif
memungkinkan untuk memberi gambaran dan pemahaman dengan cepat dan dapat
dihayati dengan mudah.
Akan tetapi metode simbolisasi yang di pilih mempunyai
konsekuensi dalam penyampian materi yang hendak diajarkan. Jika kita mengakui
bahwa suluk itu sendiri bahasa Arab, maka dalam konteks ‘suluk’ ini, kemasan
apa yang mudah diterima dengan baik oleh masyarakat Cirebon pada masanya. Dalam
kasusasteraan Arab, banyak pilihan yang bisa diambil untuk itu. Akan tepai,
pada saat yang sama, kondisi Masyarakat Cirebon (mungkin juga saat ini, dan Nusantara
pada umumnya) bisa dikatakan (bila dibandingkan dengan semenanjung Hijaj) belum
bisa diajak bernadhom (berpupuh Arab)
dengan penuh pemahaman dan penghayatan yang tinggi. Sehingga Bujangga mengambil
macapat sebagai penggantinya. Kemudian para Bujangga
menuliskannya dalam naskah yang mereka sebut sebagai ‘kitab’. Jadi, disamping
persoalan di atas, alasan lain yang menjadi tujuan penulisannya adalah supaya
kitab ini diminati oleh orang yang membacanya dan enak di telinga orang yang
mendengarnya[1].
Dalam tasawuf , suluk merupakan suatu perjalanan yang
penuh rintangan menuju kedekatan Allah swt[1].
Sungguhpun kita yakin bahwa Allah swt Maha Dekat dan Maha Jelas, akan tetapi
hakikat kedekatan, kejelasan serta keagungan Allah swt tidak dapat ditemukan,
dicerna, dan digambarkan dengan akal pikiran. Akal pikiran mempunyai batas
nalar dalam menjangkau sesuatu yang dipahami[2].
Hal yang paling sederhana adalah saat kita masih anak-anak, kita tidak pernah
tahu apa yang dikerjakan oleh orang dewasa. Dan kita sebagai orang dewasa,
tidak pernah tahu apa yang sudah Allah swt berikan kepada para nabi, para wali, dan orang shaleh tentang keutamaan
kasih-sayangNya, terlebih hakikat dari semua anugerah keutamaan itu.
Secara amalyahi, suluk adalah cara untuk menerima
limpahan rahmat Allah swt yang berupa maklumat
ilaahiyah[3],
pengetahuan ilahi, seperti yang telah Allah swt berikan kepada Nabi Adam as, “Dan
Dia (Allah swt) telah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya” (QS:2 [al-Bakoroh]
:31). Hal yang sama dengan kapasitas
yang berbeda, akan dilakukan oleh Allah swt kepada manusia ketika betul-betul
menjadi anak Adam as, bukan anak Iblis. Ketika anak Adam as bersikap seperti
Adam, maka Allah swt akan bertindak sebagaimana yang sudah Allah swt lakukan
terhadap Adam as. Dan dengan lantaran dan kekhususan maklumat ilahiyah terhadap manusia inilah, para malaikat diperintah
bersujud kepada Adam as[4].
Limpahan anugerah yang berupa maklumat
ilaahiyyah bagi salik (orang yang
menjalankan suluk) seringkali mendapat hambatan dan rintangan. Hambatan dan
rintangan bisa berupa anugerah kecil yang sangat berharga menurut dirinya.
Padahal itu hanya perhentian (manazil)
yang menipu dayakan dirinya saja. Sehingga ada penegasan yang mengarahan salik
untuk tidak terperdaya oleh karomah (kekuatan
dahsyat) sekalipun segudang, dan terus mendorongnya dalam koridor istiqomahi (kontinuitas, tetap selalu)
dalam suluknya, al istiqomah khoirun min
alfikaromah, istiqomah lebih baik dari seribu karomah.
Rokhmin Dahuri dkk. dalam BBSAD telah meletakan naskah Bujang
Genjong ini kedalam kelompok karya suluk yang berorientasi pada perjalanan
spiritual yang dilambangkan dengan simbol-simbol[1].
Jika kita membicarakan suluk, sebenarnya ruang yang diberikan oleh khazanah
kebudayaan kita sangat luas, sehingga ‘tembang’ dalang dan sinden dalam
pagelaran wayang dan kesenian lain seperti brahi, dikategotikan oleh seniman
dan budayawan Cirebon dalam kelompok suluk, akhirnya kata ‘suluk’ menjadi lumrah
untuk menyebutkan hal-hal yang berbau tembang, misalnya Suluk Pedalangan, Suluk
Gotoloco, Suluk Abdul Jalil, Suluk Sunan Kalijaga, Suluk Sunan Bonang, Babad
Tanah Jawi, Babad Cirebon dan lain-lain.
Pengelompokan yang dilakukan oleh Rokhmin Dahuri dkk.
telah mengawali khazanah baru dalam dunia suluk Cirebon. Suluk naskah Bujang
Genjong yang menggunakan tembang macapat
sebagai bentuknya, menjadi sangat
orsinil karya Bujangga Cirebon yang adi luhung. Beberapa tempat yang disebut
dan beberapa pribahasa yang digunakan melebur kedalam kejiwaan Cirebon dengan
lebih kental dan menonjolkan sifat kedaerahan yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar