Ringkasan Isi Buku:
Silsilah
Pangiwa dan Panengen
Dalam permulaan Pupuh Dangdang Gula Ki Kampah
memulai membuka isi cerita ini dengan kalimat, “PujinNya yang tak terputuskan,
oleh karena itu semoga saja sembah bakti
kepadaNya bisa sampai kepada tujuan. Agar selalu mengutamakan kebaikan dan
sampai kelak agar raga ini tetap mengerjakan sembah bakti kepada Allah SWT,
itulah pesanku semoga menjadi bahan ingatan”. Dengan memperhatian penggalan
kalimat tersebut, bahwa penulis naskah adalah seorang muslim dan mengajak
kepada pembaca agar tetap mengutamakan kebaikan serta beribadah kepada Allah
SWT.
Pada bagian pada Carub Kandha Naskah Tangkil
ini menceritakan tentang silsilah Nabi, yaitu dimulai dari Nami Muhamad saw
yang berputra Fatimah yang kemudian menikah dengan sahabatnya ialah Ali Bin Abu
Thalib ra. Dari keturunan mereka melahirkan tokoh-tokoh islam ataupun para sufi
tersohor, yang menyebarkan agama Islam diantaranya sampai ke negara ; Mesir,
Rum, Kuswa, Cempa, Malaka, Pulau Pinang, bahkan para waliyullah yang
berkedudukan di pulau Jawa Dwipa.
Disamping itu menceritakan juga Silsilah
Pangiwa dan Panengen, ialah dimulai dari Nabi Adam as yang berputra Nabi Sis
as. Dari Nabi Sis as kemudian menurun kan garis keturunan kenabian hingga para
wali di Jawa Dwipa. Demikian juga dengan Silsilah Pangiwa ialah dimulai dari
Nabi Sis as yang menurunkan silsilah pewayangan, dari Sayid Angwas kemudian
berputra Sangyang Nurcahya berputra Sangyang Nurrasa berputra Sangyang Weang
berputra Sangyang Wenang berputra Sangyang Tunggal berputra 3 orang ; 1]
Sangyang Ismaya, Ki Semar yang kelak menjadi Danyang Jawa Dwipa, 2] Sangyang
Punggung, Togog Wijamantri, dan Sangyang Guru atau Bathara Guru. Kemudian
secara berurutan dari Sangyang Guru --- Batara Brahma --- Mangsulasu --- Begawan Manomayasa --- Begawan
Sambarana --- Begawan Sakutrem Darananingrat --- Begawan Palasara --- Abiyasa
--- Pandu Dewanata – Raden Harjuna --- Raden Abimanyu --- Prabu Parikesit ---
Maharaja Udrayana --- Sri Prabu Gendrayana --- Prabu Jayabaya --- Prabu Jaya
Mijaya --- Prabu Jaya Misena --- Kusuma Wicitra --- Citra Soma --- Panca Driya
--- Angling Driya --- Prabu Selacala ---- Prabu Maha Punggung --- Sang
Kendhiawan --- Resi Kanhuyun --- Lembu Amijaya negara Gegelang --- Panji
Rawisrengga / Panji Asmara Bangun --- Prabu Laleyan Kagaluhan --- Babar Buwana
--- Gandhul Gantung --- Ratu Galuh Aci Putih --- Ganda Larang --- Anggalarang
--- Galuh Komara --- Sunyarasa --- Manjakane ---- Pucuk Putih --- Galuh Permana
---- Prabu Galuh Rayana berputra tiga orang ;
1.
Maharaja Sakti Dewi Putra Pagedhongan
2.
Harya Banga yang bergelar Brawijaya Purwajawawut, Majapahit
3.
Prabu Ciyung Wanara, Pajajaran
Silsilah
Raja-raja Sunda Kuno
Dapatlah
diuraikan akan silsilah Raja-raja Sunda kuno adalah sebagai berikut :
- Prabu Galuh Rayana
- Prabu Ciyung Wanara
- Dewi Purbasari menikah dengan Lutung Kasarung
- Prabu Lingga Hiyang Sakti
- Prabu Lingga Wesi
- Prabu Gumulung, Kerajaaan Japura
- Prabu Linggawastu berputra 3 orang ; 1] Prabu Anggalarang, 2] Raksa, 3] Pucuk Umum. Dari Prabu Anggalarang berputra ;
- Prabu Mundingkawati
- Prabu Siliwangi Ratu Agung Pajajaran
Prabu Siliwangi mempunyai beberapa Garwa, yang
menurunkan penguasa-penguasa di Tatar Pasundan ialah sebagai berikut:
- Garwa Dewi Raja Layang, berputra Prabu Resi Bungsu kemudian ia memisahkan diri dari Pajajaran.
- Garwa Dewi Selatenjo menurunkan penguasa di wilayah Parahiyangan.
- Garwa Dewi Mangun menurunkan penguasa di Panembong, Batu Layang.
- Garwa Parigi Layaran menurunkan penguasa di ; Kaperabon, Batuwangi, Cipajang Gunung Sari, Gunung Manara, Cibalagung, Karang, Leuwi Mundhing, Ujung Utara panguragan, Sarengseng, Ujung Kulon, Cianjur, Bandung, Sumedang dan Garut.
- Garwa Buniwati menurunkan penguasa ; Bupati Cangkuwang, Ciyahur, Timbanganten, cibuntu, Setu Larang, Kajaksan Cirebon, Losari, Cengal, Endher.
- Garwa Rara Mindhaya menurunkan Ki Gedheng dan Tumenggung di ; Cikak Manggong, Cisoka, Limbangan Gedhe.
- Garwa Mayang Karuna menurunkan para sunan di Talaga, Majalengka.
- Garwa Rara Siluman menurunkan penguasa alam gaib di ; Tunjung Bang, Rawa Cilakbok, Ragamang, Pakuwan, Guwa Racun, dan Guwa Santang.
Para
Kabuyutan
Istilah
para Kabuyutan kali pertama muncul menurut Carub Kandha Naskah Tangkil ialah
sebutan bagi para keturunan Galuh Pakuan Pajajaran yang berbadan halus sehingga
tidak terlihat oleh pandangan manusia. Mereka semua bertugas memberikan
perlindungan di Pulau Jawa kepada trah
Galuh Pajajaran yang sudah ditentukan dengan tidak memandang agama yang dianutnya.
Hal ini dapat memberikan dampak positif dalam kehidupan, seperti dapat
terhindar dari bahaya yang ditimbulkan dari gangguan mahluk halus yang jahat
dan lain-lain, namun itu semua semata-mata terjadi hanya karena Allah SWT.
Disadari ataupun tidak kepercayaan itu hingga jaman sekarang masih ada masyarakat
yang meyakininya, dalam hal ini dunia Pewayangan Cirebon melukiskan salah satu
Kebuyutan itu dalam bentuk gambar Gunungan. Dimana didalam Gunungan tersebut
diilustrasikan Buyut Sangga Buwana, yang bertugas mejaga disuatu tempat di lokasi
Keraton Cirebon.
Para
Kabuyutan itu ikut memberikan perlindungan ataupun menjaga kedudukan Raja-Raja
Jawa, Para Gegeden dari trah Prabu Siliwangi. Ratu Galuh menurunkan lelembut
yang bernama Ratu Maharaja Sakti yang membawahi para siluman-siluman di Pulau
Jawa, Ia menurunkan putra :
- Sangyang Pasarean yang menjadi ratu Rawa Lakbok Ciamis, kemudian berputra Buyut Wisesa yang menjaga Pulau Jawa.
- Buyut Gelo Herang yang menjadi ratu Siluman Tunjung Bang, yang berkaitan erat dengan raja-raja Majapahit dahulu kala. Buyut Gelo Herang berputra Buyut Jaya Ening yang berada di Nusa Jawa. Adanya kebuyutan ini diceritakan juga dalam Naskah Sindang, Ki Dulpari Sindang Sokawarna menuliskan bahwa Brawijaya tatkala melawan prajurit Bonang yang dipimpin oleh Susunan Ngudung juga memohon bala bantuan kepada penghuni Tunjung Bang. Demikian juga dalam Naskah Jaransari, R. Kartadisastra Juntinyuwat menuliskan, “sewaktu Jaransari didzolimi oleh kakaknya yang bernama Jaran Purnama dalam sayembara merebut putri Amangkurat dari cengkraman Lembu Andana – Andini penghuni taman sari itu. Jasad Jaransari ditolong oleh Putri Andayasari Penguasa Tunjung Bang yang jatuh cinta kepadanya setelah bertemu dalam mimpi, setelah sembuh seperti sedia kala akhirnya merekapun membangun rumah tangga dan mempunyai keturunan disana. Setelah sekian lama tinggal di negeri Siluman Tunjung Bang, kemudian Jaransari merebut haknya yang telah dirampas oleh kakaknya itu”.
- Sang Ratu Romang berkedudukan di Alas Roban, menurunkan Buyut Sang Ratu Jayakelana yang menjaga Mataram.
- Sangyang Ratu Romang Hiyang berkedudukan di gunung Sewu, menurunkan putra Buyut Sang Kalabrama yang menjaga Cirebon.
- Sang Ratu Celak Ronenek yang menjadi ratu di Tegal Luar, menurunkan putra Buyut Ipri yang menjaga Keputren Jenggala.
- Buyut Darmalae berada di Pakuan, menurunkan putra bernama Buyut Lenggang Lumenggang menjaga negara Jayakarta atau Jakarta. Putra keduanya Sangyang Buyut Genter Seda Ening yang menjaga negeri Banten.
- Sang Ratu Tugur menurunkan putra bernama Ki Buyut Cangkas herang yang menjaga wilayah di Ujung Kulon.
Demikianlah putra-putra dari Maharaja Sakti
Galuh yang berbangsa lelembut itu. Adapun kehidupan mereka itu sejajar dengan
bangsa Jin Banujan. Adapun Ki Dalang Mangsur, Gegesik Cirebon dalam lakon
Pandawa Babad Alas Amer menyebutkan bahwa Sangyang Jan Banujan itu menyatu
dengan Raden Harjuna yang kelak mempunyai cucu Prabu Parikesit yang menurunkan
cikal-bakal raja-raja jawa.
Begitu juga dengan Prabu Siliwangi Pajajaran
menurunkan tujuh orang putra bangsa lelembut seperti; Sangyang Buyut Kaluwiyan
menurunkan para kebuyutan di Kuningan, Hyang Adiluwih Wangi bersahabat atau
mendampingi Syekh Aji Juba. Hayang Kayupu menurunkan putra yang menjaga di
gunung Ciremai dan Cirebon Girang. Sangyang Kapalarang menurunkan kebuyutan di
Telaga Gedhe, Telaga Manggung. Hang Diri Kalatriyan menurunkan kebuyutan di
Puser Bumi Cirebon, Buyut Sang Maya Dewata menurunkan kebuyutan yang menjaga
perbatasan Cirebon dan Ki Sang Tulara
yang menurunkan kebuyutan yang menjaga bermacam-macam bangunan.
Demikianlah
para trah kabuyutan Galuh Pajajaran yang berbaur dengan para trah manusia yang
menjadi raja atau pun gegeden. Oleh sebab itu petilasan raja-raja atau situs
keramat terasa wingit ataupun angker, ialah dari pribawa kesetiaan para
kebuyutan yang menjaga sesama saudaranya dari keturunan manusia.
Welang
Sungsang dan Nyi Rara Santang
Pada
suatu ketika Prabu Siliwangi mendengar berita tentang kecantikan seorang santri
di pesantren Syekh Qorra Karawang. Adapun tentang Syekh Qorra jika ditarik dari
garis silsilah adalah sebagai beikut ;
- Kanjeng Nabi Muhamad SAW
- Dewi Fatimah
- Sayid Husain
- Sayid Ali Hasan
- Maulana Pulau Upi
- Maulana Tamin
- Maulana Ilafi
Maulana Ilafi menikah dengan Nyi Sidik yang
merupakan janda dari Syekh Jumadil Awal yang telah wafat, kemudian dianugrahi
dua orang putra ; yang pertama Siti Aminah Muna, dan yang kedua adalah Syekh
Qorra yang mendirikan pesantren di Karawang.
Seorang santriwati jelita itu bernama Nyi
Subang Karancang dari negara Singapura (Astana Japura sekarang). Nyi Subang
Karancang atau Nyi Subanglarang adalah putri dari Ki Gedeng Jumajanjati Juru
Labuhan Dukuh Pesambangan di kaki gunung Sembung dan Amparan Jati. Ki
Jumajanjati merupakan putra dari Ki Gedeng Kasmaya yang berkuasa di Cirebon
Girang, yang ibukotanya bernama Wanagiri.
Sebagai seorang Juru Labuhan, Ki Jumajanjati bersahabat dengan ulama-ulama
islam yang berasal dari Mekah dan Cempa. Kemudian ia menitipkan putrinya itu
kepada Syekh Hasanudin yang berasal dari Cempa, ia lebih dikenal dengan sebutan
Syekh Quro[1]
atau Syekh Qorra.
Kemudian Prabu Siliwangi mengutus kepada Ki
Patih untuk memohon kepada Syekh Qorra agar santriwati yang dimaksud tersebut
supaya dapat diboyong ke Pakuan Pajajaran untuk dijadikan permaisuri. Setelah
Nyi Subang Karancang setuju lalu iapun dibawa ke ibukota Pajajaran menjadi
Permaisuri Prabu Siliwangi, dari perkawinannya itu menurunkan 3 orang putra ;
1] Raden Kian Santang / Welang sungsang, 2] Nyi Rara Santang dan 3] Raja
Sengara.
Setelah mereka dewasa dalam hal keyakinan
agama lebih mengikuti ibundanya, mereka sering berkunjung ke pesantren Karawang
secara diam-diam karena pemeluk agama Islam sangat dilarang keras berada di
Pajajaran bahkan baginya bisa dihukum berat. Namun bagi mereka yang berada di
luar ibukota Pajajaran diberikan kelonggaran untuk memeluk / mengembangkan
agama Islam, seperti halnya di Pesantren Karawang. Suatu ketika Syekh Qorra
berkata kepada ketiga putra Pajajaran itu, terutama ditujukan kepada Nyi Rara
Santang bahwa kelak akan mendapatkan jodoh Raja Banisrail dan darinya akan
melahirkan putra yang kelak menjadi wali agung jumeneng Sunan Gunung Jati di
negara Cirebon.
Berita ini sangat mengejutkan
ibundanya, agar rahasia itu tidak sampai bocor maka Nyai Subanglarang diikuti
ketiga putranya itu memohon diri untuk tinggal di Banten dengan maksud untuk
membasuh raga guna menghadapi hari tua. Atas perkenan sang Prabu maka
dibuatkanlah Puri Kedaton di Banten, serta diberikan mantri pengawal sebanyak
40 orang. Setelah tinggal disana mereka pun bersuka cita sekehendak hati guna
menjalaknan peribadatan secara islam, mereka meninggalkan agama leluhur
Pajajaran. Kemudian Cakrabuana bersama adiknya Nyi Rara Santang pergi ke
Cirebon dan ikut menetap di sana, sentara Jaka Sengara tinggal bersama
Ibundanya di Banten. Lama-lama Cakrabuwana menikah dengan putri Sri Mangana
yang bernama Nyi Kancana Wati, selanjutnya menurunkan putra Nyi Pakung Wati dan
Pangeran Carbon. Nyi Pakung Wati mendiami Pedaleman di Jalagrahan atau disebut
juga Dalem Agung.
PENULIS:
Drh. H. R. Bambang Irianto, BA & Ki Tarka Sutarahardja
[1] Atja, Carita Purwaka Caruban Nagari, Karya Sastra
sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, 1986. Proyek Pengembangan Permesiuman Jawa
barat. Hlm. 30, 31.
*** Informasi lebih lanjut hubungi: 081 322 990 419 atau 081 911 312 907 (Mukhtar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar