Selasa, 19 November 2013

Modul Pelatihan Aksara Jawa

RESENSI:


Aksara merupakan warisan peradaban dunia yang paling pokok dan sangat terkait dengan ilmu pengetahuan. Aksara yang dituliskan dengan pena – menurut surat al-‘Alaq ayat 4 disebut ‘kalam’ -  adalah sebuah bentuk tatacara yang digunakan oleh manusia untuk mendapatkan dan memberikan ilmu, informasi, dan pengetahuan yang berhubungan dengan diri, keluarga, negara, dan agamanya. Hingga dapat dikatakan, tidak ada satu ilmu, pengetahuan, dan informasi tanpa melalui aksara.
Secara tersurat ayat 4 surat al-‘Alaq memberikan pemahaman kepada kita tentang: 1) Allah swt; 2) pengajaran; dan 3) kalam.[1] Secara tegas ayat ini memberikan gambaran kepada kita bahwa Allah swt memberikan pengajaran berbagai ilmu dan pengetahuan kepada manusia dengan melalui bacatulis. Secara tersirat, kalam atau bacatulis, yang dimaksudkan dalam ayat ini tentunya dengan menggunakan aksara yang dipakai oleh masing-masing bangsa pada zaman dan daerahnya. Karena hingga hari ini, kita belum menemukan selain aksara yang digunakan oleh antar manusia untuk memberikan dan mendapatkan pengetahuan.
Adapun simbol-simbol dan rumuz-rumuz yang digunakan oleh kita (manusia) masih terhitung aksara yang menginduk pada alfabet atau bajad yang tergolong aksara. Jadi, aksara merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia untuk pengembangan dirinya.
Secara etimologi, aksara dapat dimakanai sebagai konsonan, huruf, alfabet, abjad, angka, wilangan, dan nomor. Secara fungsional, aksara dapat dimaknai sebagai:
1.      Jenis sistem tanda grafis tertentu, misalnya aksara Mesir, aksara Arab, aksara Ibrani, aksara Arameca, aksara Brahmi, aksara Dewanagari, aksara Jawa, aksara Sunda, aksara Cina, aksara Jepang, dan lain sebagainya.
2.      Lambang bunyi, yaitu sistem tanda-tanda grafis yang dipakai manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran.
3.      Suatu grafem yang menandai bunyi yang terdapat dalam suatu kata, seperti; a) grafem yang hanya menandai bunyi konsonan (b, c, d, r, y, z dan sebagainya) dan tidak menandai bunyi vokal (a, i, u, e, dan o); b) grafem yang menandai konsonan dengan tanda ekstra di atas, di bawah, atau di sekitar gfrafem konsonan, untuk menandai vokal yang diucapkan bersama konsonan tersebut; dan c) grafem yang menandai konsonan dan vokal masing-masing grafem sendiri.
Beberapa pengertian diatas memberikan kesimpulan bahwa aksara Latin yang kita gunakan saat ini adalah suatu sistem aksara yang menganut model 3 c.[2]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nama dan jenis aksara dapat dikatakan sebagai berikut:
1.      Aksara Aramea adalah aksara yang dipakai oleh bangsa Aramea di daerah sekitar Siria sekarang dan Mesopotamia sejak sekitar abad ke-10 SM;
2.      Aksara Arab adalah aksara yang dipakai oleh bangsa Arab untuk menuliskan bahasa Arab, diturunkan dari aksara Aramea, ditulis dari kanan ke kiri;
3.      Aksara Brahmi adalah aksara yang dipakai untuk menuliskan bahasa India Kuno, ditutunkan dari aksara Arammea (Semit) dan bersifat setengah alfabet, awalnya aksara ini dituliskan dari kanan ke kiri, kemudian – karena  berbagai faktor – dituliskan dari kiri ke kanan, seperti aksara Latin atau aksara Jawa dan kebanyakan aksara dunia dan daerah yang lain;
4.      Aksara Dewanagari adalah aksara India yang yang dipakai untuk menuliskan bahasa Sanskerta yang tumbuh pada pada abad ke-7 sampai abad ke-9 M dan masih digunakan hingga saat ini, dan menurunkan aksara di Nepal dan Bangladesh;
5.      Dan seterusnya.

Pengajaran atau komunikasi yang dilakukan manusia pada awalnya hanya menggunkan ujaran. Hal ini tersurat dalam al-Quran: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!".[3]
Dari Ayat tersebut di atas dapat di peroleh pengertian:
1.      Allah swt adalah pengajar langsung Adam as;
2.      Nabi Adam as adalah manusia yang mengetahui seluruh nama benda-benda;
3.      Benda-benda itu dapat dikenali dan dibedakan dengan yang lainnya dengan melalui nama-nama yang melekat padanya;
4.      Adanya para malaikat dan mereka tidak sepandai Nabi Adam as;
5.      Orang yang benar adalah orang yang mengetahui nama-nama benda sesuai dengan namanya.
Kejadian tersebut, pengajaran nama-nama seluruh benda kepada Adam as, saat Nabi Adam as masih berada di surga. Setelah Nabi Adam as tiba di bumi dan menurunkan para nabi, baru dimulailah penurunan kitab-kitab, yang pada masa sebelum Taurat di sebut suhuf,[4] yang tentunya berisi  ilmu dan pengetahuan, yang hingga kini belum diketahui oleh ilmu sejarah, baik aksara maupun bahasanya. Para Ahli Sejarah baru bisa mengenali dan meneliti aksara dan bahasa yang termaktub dalam kitab Taurat seperti Dr. Kamal Salibi. Dr. Kamal Salibi telah berhasil meneliti Kitab Bibel Kanonik yang kemudian laporanya diterbitkan pertama kali di Jerman, yang dalam bahasa Indonesianya diberi judul Asal-usul Kitab Suci.
Kitab-kitab yang diturunkan sebelum Taurat Musa as terdiri dari 60 shuhuf diturunkan kepada Nabi Syis as, 30 shuhuf diturunkan kepada Nabi Ibrahim as, 10 shuuf kepada rasul-rasul yang lain. Kemudian baru Taurat kepada Nabi Musa as, Zabur kepada Nabi Daud as, Injil Nabi Isa as, dan Al-Quran kepada Nabi Kita Muhammad saw.[5] Semua kitab-kitab dan suhuf itu tentunya menggunakan aksara dan bahasa yang masih belum terungkap oleh kegiatan penelitian para filolog dan sejarawan, selain Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran.
Aksara pertama yang berhasil ditemukan oleh para filolog dan sejarawan adalah “Aksara Paku” yang dimiliki oleh bangsa Sumeria, Mesopotamia, Irak bagian selatan, antara sungai Tigris dan Efrat, sekitar tahun 4500 SM – 1750 SM. Pada awalnya, bangsa Sumeria menuliskan Aksara tersebut untuk keperluan transaksi perdagangan yang mereka tuliskan guna mengingat hal-hal yang terkait dengan kegiatan perdagangan yang mereka jalankan. Selanjutnya, sekitar tahun 2500 SM, Aksara Paku tersebut dilanjutkan penggunaannya oleh bangsa Akadia, Babilonia. Dan kebanyakan contoh tulisan aksara paku yang ada dan tersimpan hingga sekarang berasal dari bangsa Akadia, bukan berasal dari bangsa Sumeria.[6]
Mesir sebagai pusat peradaban dunia menyumbangkan aksara kuno yang berupa “Hieroglif” atau Aksara Mesir Kuno yang sangat terkenal karena keindahan bentuknya yang mengesankan, penuh dengan gambar-gambar yang cukup jelas yang dapat menceritakan kejadian-kejadian para raja. Aksara hieroglif kebanyakan digunakan untuk monumen dinding istana dan kuil penyembahan. Patung dewa dan patung raja, serta makam para raja. Para filolog dan sejarawan menduga, bahwa aksara Mesir Kuno masih ada kaitan atau dengan kata lain mengambil prinsip silabis dari aksara paku bangsa Akadia. Aksara Mesir Kuno ini diperkirakan oleh para filolog dan sejarawan digunakan sekitar tahun 3400 SM. Aksara Mesir Kuno ini terdari dari 26 konsonan yang secara teknik pembacaannya hampir sama dengan aksara paku bangsa Sumeria dan Akadia dengan beberapa perbedaan. Persamaannya adalah kedua aksara ini (aksara Akadia dan Mesir Kuno) terletak pada penggunaan grafem yang disebut “penentu” yang berguna untuk memudahkan para pembacanya.[7]
Sekitar tahun 1700 SM – 1500 SM, munculah alfabet Semitik Utara atau Aksara Semitik dalam bahasa Semit. Aksara ini masih serumpun dengan aksara Aramaik, Phoenicia, Nabthi, dan Arab yang sama-sama dituliskan dari kanan ke kiri dan tanpa tanda vokal. Pemberian tanda vokal baru kemudian untuk menghindari salah  baca dan mempermudah pembacaan teks-teks penting, terutama teks-teks yang menyangkut keagamaan.[8]
Bangsa Aramaik dan bangsa Arab mempunyai kedekatan yang cukup romantis dalam bahasa dan aksara. Kedua bangsa ini pada sekitar tahun 150 SM bahu-membahu untuk mendirikan kerajaan yang berpusat di Petra, daerah Sinai, Arabia Utara. Bahasa sehari-hari yang  digunakan pada saat itu adalah bahasa Arab, akan tetapi untuk kepentingan penulisan dokumentasi dan administarsi kerajaan masih menggunakan aksara Aramaik. Kerajaan yang mereka bangun ini meraka beri nama Kerajaan Nabthi, yang kemudian hari bahasa masyarakat yang membangun peradaban baca-tulis di kerajaan ini oleh para filolog di sebut bahasa dan aksara Nabthi. Bahasa dan aksara Nabthi inilah yang secara langsung menurunkan bahasa dan aksara Arab. Transformasi aksara Nabthi menjadi aksara Arab terjadi sekitar abad ke-4 dan abad ke-5. Perbedaan aksara kedua bangsa Nabthi dan Arab adalah bahwa alfabet bahasa Nabthi menggunakan 22 konsonan, sementara alfabet  bahasa Arab menggunakan 28 konsonan. Perbedaan ini tentunya dengan menghitung huruf lam (ل)  dan lam alif (لا) pada aksara Arab sebagai dua huruf. Sementara aksara lam alif (لا) dalam aksara Nabthi tidak ditemukan.[9] Ketika bangsa Arab telah memiliki aksara untuk merekam bahasa yang mereka gunakan, pada saat itulah Allah swt berfirman pada Rasul-Nya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam”.[10]
Aksara sebagai sistem tanda-tanda grafis yang dipakai manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran[11] (ungkapan), yang terus mengalami perkembangan dan transformasi sepanjang zaman, dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Seperti aksara Latin yang kita gunakan saat ini, secara bentuk dan bukan pengucapan, adalah hasil transformasi dari bangsa lain dan bukan merupakan hasil daya cipta bangsa kita sendiri.
Bangsa India adalah salah satu bangsa yang pernah memberikan sumbangsih trasformasi aksara Nusantara. Akan tetapi aksara India sendiri bukanlah aksara yang berdiri sendiri sebagaimana aksara Arab. Akan tetapi merupakan sebuah transformasi yang cukup panjang dari bangsa lain. Dan beberapa peneliti menegaskan bahwa Aksara Jawa adalah sebuah bentuk trasnformasi dari aksara India.[12]
PENULIS:
Muhamad Mukhtar Zaedin

[1] Selengkapnya: “Yang  mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.” (QS Al-‘Alaq [96]: 4)
[2] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1990, hlm. 16. Lihat juga Sistem Tulisan, Abay D. Subarna, dkk., Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, 2006, hlm. 177.
[3] QS Al-Baqarah [2]: 31
[4] Secara etimologi, shuhuf berarti Muka atau Halaman Buku. Akan tetapi shahif berarti permukaan tanah, dan shihaf berarti piring besar. (Kamus Al-Munawwir 1984, hlm. 818)  Mungkinkah shuhuf yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi  Adam as dituliskan diatas permukaan tanah? Hal ini berkaitan dengan Aksara yang pertama ditemukan di Mesopotamia (antara sungai Tigris dan Efrat, termasuk sebagian Turki dan Syiria) sekitar tahun 4500 SM – 1750 SM (Subarna 2006, hlm. 11) Menurut Syekh Nawawi Banten yang menjadi guru para ulama di Nusantara, jumlah kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah swt kepada para rusul berjumlah 104 kitab, pendapat lain 114. Imam Suhaemi berpendapat: “Yang paling sahih (benar) adalah tidak membatasi kitab-kitab yang diturunkan dengan bilangan yang pasti, maka (sebaiknya) tidak boleh bahwa kitab-kitab itu berjumlah 104 saja, karena jika kamu memperhatikan (meneliti) riwayat-riwayat (dari hadis dan atsar) yang menceritakan kitab-kitab tersebut, maka kamu akan temukan jumlahnya (bisa) mencapai 184 kitab, Syekh Nawawi, Nur al-Dhalam, hlm. 21, dan Kasyifah al-Sajaa, hlm. 11.
[5] Al-Bunni, Syams al-Ma’arif, hlm. 33.
[6] Subarna, dkk., Sistem Tulisan, hlm. 11-14.
[7] Ibid, hlm. 14-15
[8] Ibid, hlm 16.
[9] Ibid, hlm. 19-21.
[10] QS Al-‘Alaq (96): 1-4
[11] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 1990, hlm. 16
[12] Raffles, 2008: 250-263.
 

*** Informasi lebih lanjut hubungi 081 322 990 419 atau 081 911 312 907 (Muhamad Mukhtar Zaedin)

Tidak ada komentar: