Selasa, 19 November 2013

MUHYIDDIN IBNU ARABI - PUSTAKA KERATON CIREBON: PEMBUKA RUMUS DAN KUNCI PERBENDAHARAAN

RESENSI:


Ibnu Arabi, dengan segala kekurangannya yang sekaligus menjadi kekuatannya, adalah tokoh yang bagi banyak orang, mungkin juga saya, yang sulit atau bahkan tidak mampu membaca pokok pikirannya yang universal, yang dijelaskan dengan rumus-rumus yang terangkum dalam istilah-istilah atau terminologi yang sulit disepakati, jika tidak ditentang, oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan pola pikirnya, atau orang-orang yang merasa terancam terhadap perkembangan pemikiran Ibnu Arabi yang teramat jauh, di samping juga berani, melampaui batas-batas pemahaman yang mapan menurut para penentang dan pengagumnya, sekalipun sebagian kalangan dari para pengagum Ibnu Arabi terus menggali ulang terhadap karyanya hingga kini. Kelompok ini adalah kelompok pengagum Ibnu Arabi yang tidak mengharamkan membaca dan mempelajari karya Ibnu Arabi. Atau istilah-istilah yang digunakan oleh Ibnu Arabi sama dengan, atau mendekati, istilah-istilah yang dipergunakan oleh sekelompok paham yang dianggap sesat, jika tabu untuk dikatakan kafir, dan sekaligus oleh orang-orang di luar Islam dan di luar paham Islam,[1] hingga akhirnya Schimmel menegaskan: penafsiran tepat bagi pemikiran Ibnu Arabi itu sulit (Schimmel, 334). Jadi, bagaimana untuk menyimpulkan isi karyanya?
Ibnu Arabi merupakan pribadi yang unik yang menyita banyak polemik, banyak para sarjana yang tenggelam dalam lautan rahasia yang diciptakan olehnya dan mereka bingung dalam mengurai dan menjabarkan rumus-rumus yang diisyaratkan dengan kemilau bahasa yang timbul dari ilmu tanggaprasanya. Polemik pemikiran Ibnu Arabi adalah polemik terpanjang dan terlaris yang pernah dan masih terjadi dalam perjalanan sejarah dan pemikiran Islam hingga saat ini. Penentangan kepada Ibnu Arabi lebih disebabkan karena Ibnu Arabi adalah seorang penulis yang produktif yang karya-karyanya kurang lebih mencapai 290 judul, bahkan Syekh al-Gurab menyebutkan sebanyak 400 judul (al-Dīwān, hlm. 5), yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu dengan ketebalan yang berbeda,[2] dan kebetulan karya-karya tersebut tidak bersahabat dan berseberangan dengan pemahaman kebanyakan para ulama. Sehingga mereka khawatir karya-karya itu dapat menyebar luas dan mempengaruhi itikad dan akidah umat Islam. Walapun paham wahdatul wujud bukanlah milik Ibnu Arabi, namun memang Ibnu Arabi adalah juru bicara yang mahir dalam hal paham ini. Dan anehnya, Ibnu Arabi sendiri mengingkari bahwa dirinya penganut paham hulūl dan ittihād, yang disebut juga wahdah (al-wujūd).[3] Dari bukti terbesar atas ketiadaan hulūl dan itihād yang diduga oleh sebagian orang-orang adalah bahwa “kamu mengerti secara logika bahwa sesungguhnya bulan tidak terkait sama sekali dengan cahaya matahari dan bahwa matahari pun tidak berpindah secara dzati ke dalam bulan, hanya saja adanya bulan merupakan tempat bagi (pantulan) matahari. Seperti itulah hamba, dalam dirinya tidak ada sedikit pun dari Sang Khalik dan Sang Khalik pun tidak bertempat dalam diri hamba-Nya.”[4]  
Karya-karya Ibnu Arabi yang begitu banyak akan mengancam sebagian eksistensi para penganut paham dhahiri, sehingga mereka mengarahkan umat Islam untuk menjauhi karya-karya Ibnu Arabi dengan cara yang cukup keji dan pengkafiran Ibnu Arabi oleh mereka merupakan siasat yang perlu diterapkan dan menjadi satu langkah yang ditempuh agar umat Islam memutuskan hubungan dengan Ibnu Arabi. Karena itulah Imam Sya’rani membuat sebuah klarifikasi dan pembelaan terhadap pemikiran Ibnu Arabi dengan beberapa karangannya dan di antaranya adalah al-Yawāqīt wa al-Jawāhir.[5] Sehingga Ibnu Hajar pun merasa terusik dan perlu membuat sebuah pernyataan yang cukup lantang demi membela Ibnu Arabi dengan mengatakan: “Seakan-akan mereka tidak mengerti pemikiran Ibnu Arabi, atau mereka tidak sempat membaca Fushus,”[6] atau seluruh gagasan Ibnu Arabi yang universal yang tidak dapat ditangkap secara keseluruhan oleh mereka.[7]  
 Sayangnya, tidak ada orang yang mampu menyebutkan seluruh karya yang pernah ditulis Ibnu Arabi. Namun demikian, Syekh Yusuf al-Nabhānī adalah orang yang mampu menghadirkan judul-judul karya Syekh Akbar lebih banyak dari para pendahulunya, beliau menyebutkan 220 judul karya Ibnu Arabi yang diijazahkan kepada Sultan Mudhafar Ibnu al-Mālik al-‘Ādil al-Ayyūbī yang dilakukan di bulan Muharram, 632 H. Dan bahkan masih banyak yang belum diijazahkan kepadanya.[8]
Dalam karya ini pun kita sulit untuk menempatkan Ibnu Arabi dalam sebuah kelompok pemikiran. Dalam Hill al-Rumūz Mafātīh al-Kunūz ini bisa kita saksikan bagaimana Ibnu Arabi memandang sebuah masalah dengan pemikirannya yang dualistik, tanāqudl, dan saling berseberangan. Jika diibaratkan, pemikiran Ibnu Arabi itu seperti sebuah bumi yang memiliki berbagai penjuru dan arah, masing-masing orang dalam arah dan penjuru bumi merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari bumi, tetapi tidak merasa berada di bagian belahan dan penjuru yang lain. Bumi itu pokok pikiran dan penjuru atau belahan bumi itu adalah bagian-bagian dari pemikirannya. Karena itulah, sebelum memulai untuk mengomentari Fushus,  Syekh al-Ghurab menulis, “Dipersembahkan kepada Syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi, qaddasa Allah sirrah al-‘azīz, yaitu seorang lelaki (rajul, wali) yang memenuhi dan menyibukkan dunia selama 8 abad, yang manusia tidak pernah berselisih tentang seseorang semenjak berhentinya kenabian dengan hal                 yang sama seperti orang berselisih tentang diri Ibnu Arabi. Sementara diri Ibnu Arabi itu adalah sosok yang dalam dirinya terdapat cermin ke-muhammadiyah-an dengan sejernih-jernihnya dan sosok yang istiqamah. Maka seseorang tidak melihat diri Ibnu Arabi selain dirinya sendiri, dan orang tidak berbicara tentang Ibnu Arabi selain bahwa Ibnu Arabi telah ada sebelumya.”[9]


[1] Addas, hlm. 412-417; Schimmel, hlm. 333-347; al-Ghurab, al-Fiqh ‘Ind al-Syekh al-Akbār Muhyiddin Ibnu Arabi, hlm. 9-10; al-Dimasyqi, Syadzarāt al-Dzahab fī Akhbāri Man Dzahab, jilid VII, hlm. 335; al-Dzahabī, Tārīkh al-Islām, jilid XLVI, hlm. 380; Ibnu Taimiyah, Bughyah al-Murtād, hlm. 106-135.
[2] Al-Ghurab, al-Fiqh ‘Ind al-Syekh al-Akbār Muhyiddīn Ibnu Arabi, hlm. 6.
[3] Ibnu Hajar, Lisan al-Mīzān, jilid VII, hlm. 393.
[4] Al-Dimasyqi, Syadzarāt al-Dzahab, jilid VII, hlm. 347.
[5] Ibid.
[6] Ibnu Hajar, Lisān al-Mīzān, jilid VII, hlm. 393.
[7] Addas, Mencari Belerang Merah: Kisah Hidup Ibnu Arabi, hlm. 412-417.
[8] Al-Futūhāt al-Makiyyah, jilid I, muqaddimah, hlm. 7. Lihat juga Jami’ Karamāt al-Auliā, jilid I, hlm. 163-169.
[9] Al-Ghurab, Syarah Fushus al-Hukam, muqaddimah, hlm. 3.


PENULIS:
Muhamad Mukhtar Zaedin
Dr. Harapand Dahri, M.Ag

*** Informasi lebih lanjut hubungi 081 322 990 419 atau 081 911 312 907 (Mukhtar)

Tidak ada komentar: