Rabu, 20 November 2013

Pengantin Cirebon



 RESENSI:


Pengantin Cirebon merupakan bagian dari adat yang telah diselenggarakan turun-temurun di Cirebon. Keberadaan Cirebon sendiri yang merupakan Caruban (campuran), merupakan tempat berkumpulnya berbagai macam orang beserta budayanya telah berlangsung sejak abad prasejarah, sejarah serta perkembangan yang menonjol di Cirebon adalah pada abad ke-5 dan 15. Cirebon yang saat itu bernama Caruban Nagari, dipimpin oleh seorang wali terkemuka, dengan Keraton Pakungwati sebagai tempat pemerintahannya.
Sebagaimana lazimnya orang yang hidup bermasyarakat, mereka akan menciptakan budaya, peradaban  beserta produknya. Pernikahan adalah gerbang awal untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah. Secara fitrah, manusia berkeinginan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, kebutuhan untuk melangsungkan keturunan, serta kebutuhan untuk memperoleh ketentraman dari pasangan hidupnya dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat menuntut adanya sistem norma dan nilai. Sejak itulah muncul yang dinamakan pernikahan.
Pernikahan dari hari ke hari secara terus-menerus, turun-temurun, kemudian berkembang seiring kondisi lingkungan dan nilai yang dianutnya, sehingga kemudian muncullah produk budaya dalam pernikahan. Semisal adanya ritual khusus sebelum dilangsungkannya pernikahan.
Berkembangnya Cirebon sebagai sebuah kesultanan pada abad ke-16 turut mempengaruhi perkembangan sejarah dan budaya dalam hal pengantin Cirebon. Adanya suatu kesultanan tentu secara tidak langsung menciptakan suatu sistem tertentu di masyarakat. Sehingga antara adat yang dipegang oleh masyarakat di keraton tentu berbeda dengan adat masyarakat pada umumnya. Hal itu  juga berpengaruh terhadap perkembangan tata rias dan upacara adat di Cirebon. Sehingga di Cirebon terdapat beberapa jenis pengantin, yaitu pengantin cilik/ pengantin pesisir, pengantin keratonan, pengantin Cina, pengantin sunat, bahkan pengantin tebu. Pengantin keratonan terdiri dari Kepangeranan dan Kebesaran.
Upacara Pengantin Kebesaran beserta adatnya adalah upacara pengantin Cirebon yang biasanya dilaksanakan oleh keluarga keraton Cirebon. Biasanya mereka (pada zaman dulu) membuat baju mereka sendiri. Khusus pengantin perempuan, mahkota/siger/aba-aba suri-nya menggunakan aba-aba suri yang digunakan secara turun-temurun. Aba- aba suri bagi para pengantin yang keturunan raja-raja Cirebon (pasangan laki-laki dan perempuannya berasal dari kalangan keraton Cirebon) atau anak-anak raja, mereka menggunakan aba-aba suri dari emas bertatahkan berlian dengan ornamen yang sangat indah dan khas. Namun bagi mereka yang menikah dengan hanya salah satunya pengantin perempuan saja yang berasal dari keraton Cirebon, aba-aba suri yang dipakai adalah aba-aba suri imitasi yang terbuat dari perak.[1] Perias pengantin kedua mempelai, khusus untuk kalangan keluarga keraton haruslah perempuan, tidak boleh dirias oleh perias laki-laki.
Busana yang digunakan pada adat pengantin Kebesaran  merupakan busana yang tidak lepas dari nilai filosofi yang terkandung di dalamnya. Begitu pula dengan busana pengantin Kepangeranan. Namun keduanya menggunakan busana yang tentu saja berbeda. Busana pengantin Kebesaran Cirebon lebih terbuka (pengantin perempuan menggunakan dodot) sedangkan busana pengantin Kepangeranan menggunakan busana yang lebih tertutup (pengantin perempuan menggunakan kebaya).
Masyarakat pada umumnya, mereka biasanya menggunakan pakaian dan adat pengantin Cirebon Kepangeranan. Aba-aba suri yang digunakan oleh pengantin perempuan pada masyarakat umum biasanya aba-aba suri  yang terbuat dari kuningan yang bentuknya mirip dengan aba-aba suri  milik keraton.
PENULIS:
Drh. Dyah Komala Laksmiwati, dkk

[1] Berdasarkan referensi dan penuturan Hj. Rt. Meidinah, keturunan Keraton Kanoman dan Keprabonan yang menikhan dengan R. Soebawono dari Solo. 
 

*** Informasi lebih lanjut hubungi 081 322 990 419 atau 081 911 312 907 (Muhamad Mukhtar Zaedin)

Selasa, 19 November 2013

MUHYIDDIN IBNU ARABI - PUSTAKA KERATON CIREBON: PEMBUKA RUMUS DAN KUNCI PERBENDAHARAAN

RESENSI:


Ibnu Arabi, dengan segala kekurangannya yang sekaligus menjadi kekuatannya, adalah tokoh yang bagi banyak orang, mungkin juga saya, yang sulit atau bahkan tidak mampu membaca pokok pikirannya yang universal, yang dijelaskan dengan rumus-rumus yang terangkum dalam istilah-istilah atau terminologi yang sulit disepakati, jika tidak ditentang, oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan pola pikirnya, atau orang-orang yang merasa terancam terhadap perkembangan pemikiran Ibnu Arabi yang teramat jauh, di samping juga berani, melampaui batas-batas pemahaman yang mapan menurut para penentang dan pengagumnya, sekalipun sebagian kalangan dari para pengagum Ibnu Arabi terus menggali ulang terhadap karyanya hingga kini. Kelompok ini adalah kelompok pengagum Ibnu Arabi yang tidak mengharamkan membaca dan mempelajari karya Ibnu Arabi. Atau istilah-istilah yang digunakan oleh Ibnu Arabi sama dengan, atau mendekati, istilah-istilah yang dipergunakan oleh sekelompok paham yang dianggap sesat, jika tabu untuk dikatakan kafir, dan sekaligus oleh orang-orang di luar Islam dan di luar paham Islam,[1] hingga akhirnya Schimmel menegaskan: penafsiran tepat bagi pemikiran Ibnu Arabi itu sulit (Schimmel, 334). Jadi, bagaimana untuk menyimpulkan isi karyanya?
Ibnu Arabi merupakan pribadi yang unik yang menyita banyak polemik, banyak para sarjana yang tenggelam dalam lautan rahasia yang diciptakan olehnya dan mereka bingung dalam mengurai dan menjabarkan rumus-rumus yang diisyaratkan dengan kemilau bahasa yang timbul dari ilmu tanggaprasanya. Polemik pemikiran Ibnu Arabi adalah polemik terpanjang dan terlaris yang pernah dan masih terjadi dalam perjalanan sejarah dan pemikiran Islam hingga saat ini. Penentangan kepada Ibnu Arabi lebih disebabkan karena Ibnu Arabi adalah seorang penulis yang produktif yang karya-karyanya kurang lebih mencapai 290 judul, bahkan Syekh al-Gurab menyebutkan sebanyak 400 judul (al-Dīwān, hlm. 5), yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu dengan ketebalan yang berbeda,[2] dan kebetulan karya-karya tersebut tidak bersahabat dan berseberangan dengan pemahaman kebanyakan para ulama. Sehingga mereka khawatir karya-karya itu dapat menyebar luas dan mempengaruhi itikad dan akidah umat Islam. Walapun paham wahdatul wujud bukanlah milik Ibnu Arabi, namun memang Ibnu Arabi adalah juru bicara yang mahir dalam hal paham ini. Dan anehnya, Ibnu Arabi sendiri mengingkari bahwa dirinya penganut paham hulūl dan ittihād, yang disebut juga wahdah (al-wujūd).[3] Dari bukti terbesar atas ketiadaan hulūl dan itihād yang diduga oleh sebagian orang-orang adalah bahwa “kamu mengerti secara logika bahwa sesungguhnya bulan tidak terkait sama sekali dengan cahaya matahari dan bahwa matahari pun tidak berpindah secara dzati ke dalam bulan, hanya saja adanya bulan merupakan tempat bagi (pantulan) matahari. Seperti itulah hamba, dalam dirinya tidak ada sedikit pun dari Sang Khalik dan Sang Khalik pun tidak bertempat dalam diri hamba-Nya.”[4]  
Karya-karya Ibnu Arabi yang begitu banyak akan mengancam sebagian eksistensi para penganut paham dhahiri, sehingga mereka mengarahkan umat Islam untuk menjauhi karya-karya Ibnu Arabi dengan cara yang cukup keji dan pengkafiran Ibnu Arabi oleh mereka merupakan siasat yang perlu diterapkan dan menjadi satu langkah yang ditempuh agar umat Islam memutuskan hubungan dengan Ibnu Arabi. Karena itulah Imam Sya’rani membuat sebuah klarifikasi dan pembelaan terhadap pemikiran Ibnu Arabi dengan beberapa karangannya dan di antaranya adalah al-Yawāqīt wa al-Jawāhir.[5] Sehingga Ibnu Hajar pun merasa terusik dan perlu membuat sebuah pernyataan yang cukup lantang demi membela Ibnu Arabi dengan mengatakan: “Seakan-akan mereka tidak mengerti pemikiran Ibnu Arabi, atau mereka tidak sempat membaca Fushus,”[6] atau seluruh gagasan Ibnu Arabi yang universal yang tidak dapat ditangkap secara keseluruhan oleh mereka.[7]  
 Sayangnya, tidak ada orang yang mampu menyebutkan seluruh karya yang pernah ditulis Ibnu Arabi. Namun demikian, Syekh Yusuf al-Nabhānī adalah orang yang mampu menghadirkan judul-judul karya Syekh Akbar lebih banyak dari para pendahulunya, beliau menyebutkan 220 judul karya Ibnu Arabi yang diijazahkan kepada Sultan Mudhafar Ibnu al-Mālik al-‘Ādil al-Ayyūbī yang dilakukan di bulan Muharram, 632 H. Dan bahkan masih banyak yang belum diijazahkan kepadanya.[8]
Dalam karya ini pun kita sulit untuk menempatkan Ibnu Arabi dalam sebuah kelompok pemikiran. Dalam Hill al-Rumūz Mafātīh al-Kunūz ini bisa kita saksikan bagaimana Ibnu Arabi memandang sebuah masalah dengan pemikirannya yang dualistik, tanāqudl, dan saling berseberangan. Jika diibaratkan, pemikiran Ibnu Arabi itu seperti sebuah bumi yang memiliki berbagai penjuru dan arah, masing-masing orang dalam arah dan penjuru bumi merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari bumi, tetapi tidak merasa berada di bagian belahan dan penjuru yang lain. Bumi itu pokok pikiran dan penjuru atau belahan bumi itu adalah bagian-bagian dari pemikirannya. Karena itulah, sebelum memulai untuk mengomentari Fushus,  Syekh al-Ghurab menulis, “Dipersembahkan kepada Syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi, qaddasa Allah sirrah al-‘azīz, yaitu seorang lelaki (rajul, wali) yang memenuhi dan menyibukkan dunia selama 8 abad, yang manusia tidak pernah berselisih tentang seseorang semenjak berhentinya kenabian dengan hal                 yang sama seperti orang berselisih tentang diri Ibnu Arabi. Sementara diri Ibnu Arabi itu adalah sosok yang dalam dirinya terdapat cermin ke-muhammadiyah-an dengan sejernih-jernihnya dan sosok yang istiqamah. Maka seseorang tidak melihat diri Ibnu Arabi selain dirinya sendiri, dan orang tidak berbicara tentang Ibnu Arabi selain bahwa Ibnu Arabi telah ada sebelumya.”[9]


[1] Addas, hlm. 412-417; Schimmel, hlm. 333-347; al-Ghurab, al-Fiqh ‘Ind al-Syekh al-Akbār Muhyiddin Ibnu Arabi, hlm. 9-10; al-Dimasyqi, Syadzarāt al-Dzahab fī Akhbāri Man Dzahab, jilid VII, hlm. 335; al-Dzahabī, Tārīkh al-Islām, jilid XLVI, hlm. 380; Ibnu Taimiyah, Bughyah al-Murtād, hlm. 106-135.
[2] Al-Ghurab, al-Fiqh ‘Ind al-Syekh al-Akbār Muhyiddīn Ibnu Arabi, hlm. 6.
[3] Ibnu Hajar, Lisan al-Mīzān, jilid VII, hlm. 393.
[4] Al-Dimasyqi, Syadzarāt al-Dzahab, jilid VII, hlm. 347.
[5] Ibid.
[6] Ibnu Hajar, Lisān al-Mīzān, jilid VII, hlm. 393.
[7] Addas, Mencari Belerang Merah: Kisah Hidup Ibnu Arabi, hlm. 412-417.
[8] Al-Futūhāt al-Makiyyah, jilid I, muqaddimah, hlm. 7. Lihat juga Jami’ Karamāt al-Auliā, jilid I, hlm. 163-169.
[9] Al-Ghurab, Syarah Fushus al-Hukam, muqaddimah, hlm. 3.


PENULIS:
Muhamad Mukhtar Zaedin
Dr. Harapand Dahri, M.Ag

*** Informasi lebih lanjut hubungi 081 322 990 419 atau 081 911 312 907 (Mukhtar)

Modul Pelatihan Aksara Jawa

RESENSI:


Aksara merupakan warisan peradaban dunia yang paling pokok dan sangat terkait dengan ilmu pengetahuan. Aksara yang dituliskan dengan pena – menurut surat al-‘Alaq ayat 4 disebut ‘kalam’ -  adalah sebuah bentuk tatacara yang digunakan oleh manusia untuk mendapatkan dan memberikan ilmu, informasi, dan pengetahuan yang berhubungan dengan diri, keluarga, negara, dan agamanya. Hingga dapat dikatakan, tidak ada satu ilmu, pengetahuan, dan informasi tanpa melalui aksara.
Secara tersurat ayat 4 surat al-‘Alaq memberikan pemahaman kepada kita tentang: 1) Allah swt; 2) pengajaran; dan 3) kalam.[1] Secara tegas ayat ini memberikan gambaran kepada kita bahwa Allah swt memberikan pengajaran berbagai ilmu dan pengetahuan kepada manusia dengan melalui bacatulis. Secara tersirat, kalam atau bacatulis, yang dimaksudkan dalam ayat ini tentunya dengan menggunakan aksara yang dipakai oleh masing-masing bangsa pada zaman dan daerahnya. Karena hingga hari ini, kita belum menemukan selain aksara yang digunakan oleh antar manusia untuk memberikan dan mendapatkan pengetahuan.
Adapun simbol-simbol dan rumuz-rumuz yang digunakan oleh kita (manusia) masih terhitung aksara yang menginduk pada alfabet atau bajad yang tergolong aksara. Jadi, aksara merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia untuk pengembangan dirinya.
Secara etimologi, aksara dapat dimakanai sebagai konsonan, huruf, alfabet, abjad, angka, wilangan, dan nomor. Secara fungsional, aksara dapat dimaknai sebagai:
1.      Jenis sistem tanda grafis tertentu, misalnya aksara Mesir, aksara Arab, aksara Ibrani, aksara Arameca, aksara Brahmi, aksara Dewanagari, aksara Jawa, aksara Sunda, aksara Cina, aksara Jepang, dan lain sebagainya.
2.      Lambang bunyi, yaitu sistem tanda-tanda grafis yang dipakai manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran.
3.      Suatu grafem yang menandai bunyi yang terdapat dalam suatu kata, seperti; a) grafem yang hanya menandai bunyi konsonan (b, c, d, r, y, z dan sebagainya) dan tidak menandai bunyi vokal (a, i, u, e, dan o); b) grafem yang menandai konsonan dengan tanda ekstra di atas, di bawah, atau di sekitar gfrafem konsonan, untuk menandai vokal yang diucapkan bersama konsonan tersebut; dan c) grafem yang menandai konsonan dan vokal masing-masing grafem sendiri.
Beberapa pengertian diatas memberikan kesimpulan bahwa aksara Latin yang kita gunakan saat ini adalah suatu sistem aksara yang menganut model 3 c.[2]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nama dan jenis aksara dapat dikatakan sebagai berikut:
1.      Aksara Aramea adalah aksara yang dipakai oleh bangsa Aramea di daerah sekitar Siria sekarang dan Mesopotamia sejak sekitar abad ke-10 SM;
2.      Aksara Arab adalah aksara yang dipakai oleh bangsa Arab untuk menuliskan bahasa Arab, diturunkan dari aksara Aramea, ditulis dari kanan ke kiri;
3.      Aksara Brahmi adalah aksara yang dipakai untuk menuliskan bahasa India Kuno, ditutunkan dari aksara Arammea (Semit) dan bersifat setengah alfabet, awalnya aksara ini dituliskan dari kanan ke kiri, kemudian – karena  berbagai faktor – dituliskan dari kiri ke kanan, seperti aksara Latin atau aksara Jawa dan kebanyakan aksara dunia dan daerah yang lain;
4.      Aksara Dewanagari adalah aksara India yang yang dipakai untuk menuliskan bahasa Sanskerta yang tumbuh pada pada abad ke-7 sampai abad ke-9 M dan masih digunakan hingga saat ini, dan menurunkan aksara di Nepal dan Bangladesh;
5.      Dan seterusnya.

Pengajaran atau komunikasi yang dilakukan manusia pada awalnya hanya menggunkan ujaran. Hal ini tersurat dalam al-Quran: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!".[3]
Dari Ayat tersebut di atas dapat di peroleh pengertian:
1.      Allah swt adalah pengajar langsung Adam as;
2.      Nabi Adam as adalah manusia yang mengetahui seluruh nama benda-benda;
3.      Benda-benda itu dapat dikenali dan dibedakan dengan yang lainnya dengan melalui nama-nama yang melekat padanya;
4.      Adanya para malaikat dan mereka tidak sepandai Nabi Adam as;
5.      Orang yang benar adalah orang yang mengetahui nama-nama benda sesuai dengan namanya.
Kejadian tersebut, pengajaran nama-nama seluruh benda kepada Adam as, saat Nabi Adam as masih berada di surga. Setelah Nabi Adam as tiba di bumi dan menurunkan para nabi, baru dimulailah penurunan kitab-kitab, yang pada masa sebelum Taurat di sebut suhuf,[4] yang tentunya berisi  ilmu dan pengetahuan, yang hingga kini belum diketahui oleh ilmu sejarah, baik aksara maupun bahasanya. Para Ahli Sejarah baru bisa mengenali dan meneliti aksara dan bahasa yang termaktub dalam kitab Taurat seperti Dr. Kamal Salibi. Dr. Kamal Salibi telah berhasil meneliti Kitab Bibel Kanonik yang kemudian laporanya diterbitkan pertama kali di Jerman, yang dalam bahasa Indonesianya diberi judul Asal-usul Kitab Suci.
Kitab-kitab yang diturunkan sebelum Taurat Musa as terdiri dari 60 shuhuf diturunkan kepada Nabi Syis as, 30 shuhuf diturunkan kepada Nabi Ibrahim as, 10 shuuf kepada rasul-rasul yang lain. Kemudian baru Taurat kepada Nabi Musa as, Zabur kepada Nabi Daud as, Injil Nabi Isa as, dan Al-Quran kepada Nabi Kita Muhammad saw.[5] Semua kitab-kitab dan suhuf itu tentunya menggunakan aksara dan bahasa yang masih belum terungkap oleh kegiatan penelitian para filolog dan sejarawan, selain Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran.
Aksara pertama yang berhasil ditemukan oleh para filolog dan sejarawan adalah “Aksara Paku” yang dimiliki oleh bangsa Sumeria, Mesopotamia, Irak bagian selatan, antara sungai Tigris dan Efrat, sekitar tahun 4500 SM – 1750 SM. Pada awalnya, bangsa Sumeria menuliskan Aksara tersebut untuk keperluan transaksi perdagangan yang mereka tuliskan guna mengingat hal-hal yang terkait dengan kegiatan perdagangan yang mereka jalankan. Selanjutnya, sekitar tahun 2500 SM, Aksara Paku tersebut dilanjutkan penggunaannya oleh bangsa Akadia, Babilonia. Dan kebanyakan contoh tulisan aksara paku yang ada dan tersimpan hingga sekarang berasal dari bangsa Akadia, bukan berasal dari bangsa Sumeria.[6]
Mesir sebagai pusat peradaban dunia menyumbangkan aksara kuno yang berupa “Hieroglif” atau Aksara Mesir Kuno yang sangat terkenal karena keindahan bentuknya yang mengesankan, penuh dengan gambar-gambar yang cukup jelas yang dapat menceritakan kejadian-kejadian para raja. Aksara hieroglif kebanyakan digunakan untuk monumen dinding istana dan kuil penyembahan. Patung dewa dan patung raja, serta makam para raja. Para filolog dan sejarawan menduga, bahwa aksara Mesir Kuno masih ada kaitan atau dengan kata lain mengambil prinsip silabis dari aksara paku bangsa Akadia. Aksara Mesir Kuno ini diperkirakan oleh para filolog dan sejarawan digunakan sekitar tahun 3400 SM. Aksara Mesir Kuno ini terdari dari 26 konsonan yang secara teknik pembacaannya hampir sama dengan aksara paku bangsa Sumeria dan Akadia dengan beberapa perbedaan. Persamaannya adalah kedua aksara ini (aksara Akadia dan Mesir Kuno) terletak pada penggunaan grafem yang disebut “penentu” yang berguna untuk memudahkan para pembacanya.[7]
Sekitar tahun 1700 SM – 1500 SM, munculah alfabet Semitik Utara atau Aksara Semitik dalam bahasa Semit. Aksara ini masih serumpun dengan aksara Aramaik, Phoenicia, Nabthi, dan Arab yang sama-sama dituliskan dari kanan ke kiri dan tanpa tanda vokal. Pemberian tanda vokal baru kemudian untuk menghindari salah  baca dan mempermudah pembacaan teks-teks penting, terutama teks-teks yang menyangkut keagamaan.[8]
Bangsa Aramaik dan bangsa Arab mempunyai kedekatan yang cukup romantis dalam bahasa dan aksara. Kedua bangsa ini pada sekitar tahun 150 SM bahu-membahu untuk mendirikan kerajaan yang berpusat di Petra, daerah Sinai, Arabia Utara. Bahasa sehari-hari yang  digunakan pada saat itu adalah bahasa Arab, akan tetapi untuk kepentingan penulisan dokumentasi dan administarsi kerajaan masih menggunakan aksara Aramaik. Kerajaan yang mereka bangun ini meraka beri nama Kerajaan Nabthi, yang kemudian hari bahasa masyarakat yang membangun peradaban baca-tulis di kerajaan ini oleh para filolog di sebut bahasa dan aksara Nabthi. Bahasa dan aksara Nabthi inilah yang secara langsung menurunkan bahasa dan aksara Arab. Transformasi aksara Nabthi menjadi aksara Arab terjadi sekitar abad ke-4 dan abad ke-5. Perbedaan aksara kedua bangsa Nabthi dan Arab adalah bahwa alfabet bahasa Nabthi menggunakan 22 konsonan, sementara alfabet  bahasa Arab menggunakan 28 konsonan. Perbedaan ini tentunya dengan menghitung huruf lam (ل)  dan lam alif (لا) pada aksara Arab sebagai dua huruf. Sementara aksara lam alif (لا) dalam aksara Nabthi tidak ditemukan.[9] Ketika bangsa Arab telah memiliki aksara untuk merekam bahasa yang mereka gunakan, pada saat itulah Allah swt berfirman pada Rasul-Nya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam”.[10]
Aksara sebagai sistem tanda-tanda grafis yang dipakai manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran[11] (ungkapan), yang terus mengalami perkembangan dan transformasi sepanjang zaman, dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Seperti aksara Latin yang kita gunakan saat ini, secara bentuk dan bukan pengucapan, adalah hasil transformasi dari bangsa lain dan bukan merupakan hasil daya cipta bangsa kita sendiri.
Bangsa India adalah salah satu bangsa yang pernah memberikan sumbangsih trasformasi aksara Nusantara. Akan tetapi aksara India sendiri bukanlah aksara yang berdiri sendiri sebagaimana aksara Arab. Akan tetapi merupakan sebuah transformasi yang cukup panjang dari bangsa lain. Dan beberapa peneliti menegaskan bahwa Aksara Jawa adalah sebuah bentuk trasnformasi dari aksara India.[12]
PENULIS:
Muhamad Mukhtar Zaedin

[1] Selengkapnya: “Yang  mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.” (QS Al-‘Alaq [96]: 4)
[2] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1990, hlm. 16. Lihat juga Sistem Tulisan, Abay D. Subarna, dkk., Lembaga Pendidikan Seni Nusantara, 2006, hlm. 177.
[3] QS Al-Baqarah [2]: 31
[4] Secara etimologi, shuhuf berarti Muka atau Halaman Buku. Akan tetapi shahif berarti permukaan tanah, dan shihaf berarti piring besar. (Kamus Al-Munawwir 1984, hlm. 818)  Mungkinkah shuhuf yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi  Adam as dituliskan diatas permukaan tanah? Hal ini berkaitan dengan Aksara yang pertama ditemukan di Mesopotamia (antara sungai Tigris dan Efrat, termasuk sebagian Turki dan Syiria) sekitar tahun 4500 SM – 1750 SM (Subarna 2006, hlm. 11) Menurut Syekh Nawawi Banten yang menjadi guru para ulama di Nusantara, jumlah kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah swt kepada para rusul berjumlah 104 kitab, pendapat lain 114. Imam Suhaemi berpendapat: “Yang paling sahih (benar) adalah tidak membatasi kitab-kitab yang diturunkan dengan bilangan yang pasti, maka (sebaiknya) tidak boleh bahwa kitab-kitab itu berjumlah 104 saja, karena jika kamu memperhatikan (meneliti) riwayat-riwayat (dari hadis dan atsar) yang menceritakan kitab-kitab tersebut, maka kamu akan temukan jumlahnya (bisa) mencapai 184 kitab, Syekh Nawawi, Nur al-Dhalam, hlm. 21, dan Kasyifah al-Sajaa, hlm. 11.
[5] Al-Bunni, Syams al-Ma’arif, hlm. 33.
[6] Subarna, dkk., Sistem Tulisan, hlm. 11-14.
[7] Ibid, hlm. 14-15
[8] Ibid, hlm 16.
[9] Ibid, hlm. 19-21.
[10] QS Al-‘Alaq (96): 1-4
[11] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 1990, hlm. 16
[12] Raffles, 2008: 250-263.
 

*** Informasi lebih lanjut hubungi 081 322 990 419 atau 081 911 312 907 (Muhamad Mukhtar Zaedin)