Rokhmin Dahuri dkk. dalam Budaya Bahari Sebuah Apresiasi
di Cirebon (BBSAC ), telah menguraikan sebagian dari Naskah Bujang Genjong
(NBG). Dalam uraiannya, ajaran manunggal
telah disinggung, bahkan Bujang Genjong dan Rara Gonjeng disimbolkan sebagi raga
dan jiwa yang selalu saling merindu[1];
merindu akan kebersamaan dan persatuan untuk menjalankan irodah, kehendak[2],
untuk selalu bersama dalam kesatuan hakiki. Penggambaran yang manis ini
tentunya menjadi awalan bagi inspirasi kami untuk memberi pemahaman yang lebih
luas terhadap Naskah Bujang Genjong. Tokoh Bujang Genjong dan Rara Gonjeng
dalam kisahnya, memang bisa menjadi lambang kerinduan persatuan yang sangat
kuat. Dan apalagi jika kedua tokoh ini hanya semata-mata dipandang sebagai
muda-mudi yang sedang menjalin asmara (lihat dalam pupuh Kasmaran, Pupuh ke 10-15).
Penggambaran atau dalam istilah NBG sendiri disebut pewayangan, wayang amot wawayangan, merupakan cara yang paling aman dalam
mengurai, menjabarkan, dan menjelaskan kerumitan yang ada, yang tidak mampu
diurai dengan kalimat indah. Karena itulah, hal yang sangat tidak logis jika
tokoh Bujang Genjong dan Rara Gonjeng dianggap sebagai sebuah nama tanpa
maksud, arti, dan tujuan. Dengan melihat arti kata Bujang Genjong, Rara Gonjeng,
dan Bujang Lamong, yang secara bahasa yang saling berdekatan maknanya, kita
sudah merasakan kesengajaan dari Bujangga[3]
NBG untuk memberikan sandi-sandi atau simbol-simbol dari suatu alur pemikiran
yang mengarah pada tujuan tertentu. Dan ketika kita mengganggap bahwa nama-nama
disusun secara sengaja, maka timbul pertanyaan yang kedua; apa maksudnya?
Dengan pijakan seperti inilah kekayaan lokal Cirebon, khususnya NBG, mendapatkan
posisi yang layak.
Pemahaman yang diambil BBSAC terhadap NBG tentang manunggal merupakan ide bagi kita untuk
melangkah lebih kedalam lagi. Benar sekali, jika BBSAC merasa ada maksud lain
dalam alur kisah yang ditulis para pendahulu Cirebon. Dalam konteks terebut, BBSAC
merasa perlu mengambil kesimpulan tentang ilmu manunggal; manunggal antara kawula
dengan gusti, bisa meloncat naik
ke arah manunggaling ilmu antara syari’at, tarekat, hakikat, dan makrifat dalam diri orang Cirebon,
dengan kalimat lebih jelas bahkan dikatan sebagai persiapan manusia supaya
membekali diri dengan empat ilmu (syari’at,
tarekat, hakikat, dan makrifat)
dalam bertindak, bergaul, berfikir dan beribadah[4].
Pada masa-masa kemajuan Islam di Cirebon, ajaran Islam
yang membumi di hati masyarakat pada umumnya adalah ajaran tasawuf. Islam model
inilah yang diterima dan disukai oleh masyarakat Cirebon pada saat itu. Hanya
saja, seiring dengan perjalanan waktu, pemikiran-pemikiran baru bermunculan
sesuai dengan aliran atau madzhab masing-masing pendatang, dan bahkan benturan
pemikiran sering terjadi di Cirebon. Salah satu contoh yang paling populer
adalah benturan pemahaman yang terjadi antara Dewan Wali Sanga dengan Syekh
Siti Jenar. Benturan antara Syekh Siti Jenar dan Dewan Wali Sanga tidak selesai
hingga eksekusi terjadi terhadapnya, dan ketika suatu paham sudah berkembang
dalam masyarakat, maka ada penerus yang menggantikannya hingga saat ini. Mungkin
hal inilah yang menjadi salah satu sebab
terhadap kalimat tunggal di sebagian
naskah Cirebon, NBG termasuk didalamnya, tidak diarahkan kepada manunggal antara gusti dan kawula.
Dari segi sastra, NBG terkategori dalam kelompok karya
sastra dengan mengambil bentuk Tembang Macapat[5],
dan seperti Tembang Macapat dalam naskah Cirebon yang lain, NBG yang ditemukan
di keraton Kacirebonan ini, terbagi menjadi beberapa kelompok tembang,
diantaranya: kasmaran, megatruh, pangkur,
durma, dan khinanthi; dan diakhir
naskah ini ditutup dengan tembang
kasmaran.
Kelima jenis tembang yang
digunakan dalam NBG memang merupakan tembang yang tergolong dalam jenis tembang
tengahan yang lazim disebut Tembang Macapat. Karakter bahasa yang muncul
mewarnai NBG tak dapat dikatakan sebagai tembang kawi, karena itulah budayawan
Cirebon memastikan NBG sebagai salah satu naskah macapat atau tembang tengahan
yang dimiliki oleh Cirebon. Dari penggunaan dan pemilihan bahasa yang semacam
inilah NBG terlihat eksclusif sebagai suluk
pesisiran Cirebon yang mashur dan berakar pada zamannya.
[2] Al Ghazali dalam Ihya III hlm. 17 berkata, Hati manusia
itu terkhusus dengan pengetahuan dan kehendak yang menyebabkannya berbeda dari
seluruh hewan.
[3] Kalimat Bujangga di
pinjam untuk menjadi istilah bagi penulis tembang macapat agar pembahasan dan kalimat menjadi simpel
[4] Budaya Bahari, hlm. 26.
[5] Tembang Macapat
merupakan bagian dari bentuk kesusasteraan Cirebon. Seorang budayawan Cirebon,
Kartani, memberi penjelasan bahwa macapat
berarti membaca empat-empat, maca
papat-papat. Membaca secara empat
wanda empat wanda dalam tembang ini sebenarnya sangat sulit dipahami oleh
generasi muda sekarang, karena mereka tidak mendapatkan gambaran dalam
pemikiran mereka bentuk tehnis membaca empat-empat. Bagi kami, mereka tidak salah
sama sekali, karena tidak ada orang yang memberinya pelajaran tentang itu.
Tentang Macapat, lihat Rokhmin Dahuri, Budaya
Bahari sebuah Apresiasi di Cirebon, terbitan Perum Percetakan Negara 2004, halm.
116 ,117. lihat juga Yatna Supriatna, Sastra
Klasik Cerbon, terbitan Disbudpar Kota Cirebon 2008, hlm. 6,7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar