Jika kita hendak membanding NBG dengan syair-syair suluk yang telah ditulis oleh Hamzah Fanshuri, maka
tek pelak keduanya mempunyai semangat yang sama dalam hal mengusung wahdatul
wujud atau manunggal. Paham teraebut menjadi sangat trend dan dianggap
sebagai paham yang tinggi dalam ajaran suluk
pada masanya. Walaupun kita juga tahu, pada saat yang sama, ada sekelompok yang
menentang paham itu, bahkan dengan menggunakan kekuasaan sebagai alatnya.
Sehingga kedua aliran (pro dan kontra wahdatul wujud) saling berebut kesempatan
untuk mendapatkan tempat dihati para penguasa. Namun demikian, keduanya (NBG
dan Syair Hamzah Fanshuri) mempunyai perbedaan yang cukup mendasar dari segi
metode pengajarannya. NBG dengan basis bahasa dan ruang Cirebon yang menjadi
latarbelakangnya, menjadi tampak lebih samar dengan paham yang dibawanya. NBG
menamsilkan pahamnya dengan menekankan kesamaan antara Jawa dan Sunda, atau
dengan kata lain, NBG menegaskan bahwa Jawa (bahasa Jawa Cirebon) dan Sunda
sebenarnya satu dalam hidup, tujuan, dan mati. NBG ingin mengatakan bahwa
perbedaan Jawa dan Sunda terletak hanya sebatas bahasanya saja, tetapi makna
yang dikehendaki dari ucapan yang berbeda itu sebenarnya sama. Untuk itulah,
perbedaan bahasa sebenarnya bukan sesuatu yang dapat menjadi hilangnya makna
yang sama, yang dikehendaki oleh bahasa yang lain. Jadi, masing-masing bahasa
punya kata tersendiri yang dapat menjelaskan makna yang dimaksud oleh bahasa
yang lain. Dengan cara beginilah NBG menjelaskan pahamnya tentang tunggal dan
siji atau wahdatul wujud. Atau dengan kata lain, kedua bahasa yang berbeda itu
sebenarnya punya maksud yang sama, dan tentunya secara lumrah masing-masing
bahasa, apabila digunakan, menuju kepada ‘satu makna’ yang dikehendakinya,
walaupun didalam kamusnya, kata itu memiliki beberapa dan bahkan puluhan arti.
Dari kuatnya kalimat tamsil yang digunakan NBG,
sepertinya NBG bukan ditulis oleh orang yang biasa, tetapi benar-benar Bujangga
yang profesional, terampil dan mampu membawa imajinasi pembaca kepada alur
pemikiran yang dikehendakinya. Menurut kaidah ilmu sastra, kebesaran seseorang
dapat dilihat dari bahasa yang digunakannya. Dengan kata lain, kebijakan bahasa
yang dipakai dalam penulisan suatu karya, dapat menjadi tolok ukur bagi
penulisnya. Kalimat tamsil yang semacam inilah yang mewarnai isi kitab-kitab
Ibnu Arabi, al-Ghazali, Ibnu Athoilah, dan lain-lain sewaktu mereka menjelaskan
tentang ilmu mukasyafah, ilmu makrifat, dan hulul yang dianutnya. Hanya saja perbedaan selalu ada diantara
sesamanya dalam sebagian masalah yang diutarakan. Namun secara garis besar,
metode yang digunakan dalam hal menghadapi kesulitan saat menjelaskan tunggal, kasyaf, atau nyata kepada pembaca, mereka menempuh
jalan yang sama. Mereka beranggapan, bahwa ma’rifatul
haq sesuatu yang pelik, sehingga sulit untuk dijelaskan dan ditulis dengan
kalimat lepas diatas lembaran kertas. Karena didorong oleh rasa ingin berbagi
ilmu yang mulia kepada pembaca atau tepatnya murid, penamsilan itu dilakukan
oleh mereka, agar pembaca menangkap setetes maksud dari ma’rifatul haq yang diurai dengan tamsil. Untuk bisa merasakan
atau menyaksikan secara langsung, maka pembaca atau atau yang disebut dengan
istilah murid harus dapat melakukan
apa yang telah dikerjakan oleh orang yang mencapai maqom ma’rifat atau maqom
kasyaf secara penuh dan konsisten. Maqom
ini adalah maqom yang tertinggi dalam
ilmu suluk yang berkembang di dunia
Islam dibelahan dunia manapun. Akan tetapi, Kartani (2004), menambahkan satu
tingkat lagi di atas ma’rifat dengan
tingkatan ma’lum atau maklum. Artinya: tingkatan maklum adalah kondisi pemikiran dan
kesadaran seseorang tidak lagi fana fil
kull (sirna dalam keseluruhan) tertuju hanya kepada Allah swt. semata,
tetapi sudah bisa membagi kesadarannya kepada Allah swt. dan makhlukNya. Jadi fana yang dipakai oleh orang yang
mencapai maklum adalah fana fil ab’adl (sirna dalam
kesebagianan), yaitu seseorang disamping tenggelam dalam musyahadah fillah, dia juga mampu berkomunikasi dengan orang lain
secara benar dan lancar.
Suluk- suluk yang mirip dengan NBG banyak terdapat dalam
kasuasteraan Cirebon dan Nusantara, khususnya yang berasal dari Aceh, dan kita,
khusus Cirebon, dapat mendengarkannya dalam pagelaran Macapat yang sering dilaksanakan oleh kalangan tua Cirebon. Hanya
sayangnya adalah kurangnya minat kalangan muda terhadap jenis pagelaran
kesenian yang satu ini. Mungkinkah karena pagelaran macapat di Cirebon tergolong sakral, atau bahasa yang dipakai dalam
tembang ini tak dapat dimengerti kebanyakan kalangan mudanya. Menurut hemat
kami, kesakralan yang ada dalam pagelaran macapat
tak perlu menjadi alasan untuk lari dari kesenian yang unik dan menarik ini.
Mereka harus coba berusaha mengerti dan masuk di dalamnya agar dapat memberikan
perubahan metode pagelaran yang semula sakral menjadi meriah. Anggaplah tembang macapat adalah suatu puisi
klasik yang dapat dibaca secara moderen, sebagaimana puisi-puisi yang lain.
Memang harus diakui, antara tembang dan puisi sangat berbeda dalam segalanya.
Dari segi pembacaan khususnya tembang
macapat memang mempunyai aturan yang sangat ketat. Memang idealnya, tembang macapat harus dilantunkan
sebagaimana mestinya, karena tembang adalah alunan lagu yang memerlukan kemerduan
suara disamping mengerti teknik-teknik pelafalannya. Sementara puisi
penekanannya pada inotasi suara yang tidak memerlukan teknik lagu secara
khusus. Namun memang ke duanya mempunyai kesamaan dalam kemerduan dan ketegasan
suara. Karena itulah, harus dicapai jalan keluar yang dapat menjawab problem
yang berkaitan dengan pakem tembang agar bisa--- dengan segala kepantasannya---
diperlakukan sebagaimana puisi modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar