Minggu, 25 Desember 2011

Pembukaan Suluk Bujang Genjong (bag ke 3)


Jika kita hendak membanding NBG dengan syair-syair suluk  yang telah ditulis oleh Hamzah Fanshuri, maka tek pelak keduanya mempunyai semangat yang sama dalam hal mengusung wahdatul wujud atau manunggal. Paham teraebut menjadi sangat trend dan dianggap sebagai paham yang tinggi dalam ajaran suluk pada masanya. Walaupun kita juga tahu, pada saat yang sama, ada sekelompok yang menentang paham itu, bahkan dengan menggunakan kekuasaan sebagai alatnya. Sehingga kedua aliran (pro dan kontra wahdatul wujud) saling berebut kesempatan untuk mendapatkan tempat dihati para penguasa. Namun demikian, keduanya (NBG dan Syair Hamzah Fanshuri) mempunyai perbedaan yang cukup mendasar dari segi metode pengajarannya. NBG dengan basis bahasa dan ruang Cirebon yang menjadi latarbelakangnya, menjadi tampak lebih samar dengan paham yang dibawanya. NBG menamsilkan pahamnya dengan menekankan kesamaan antara Jawa dan Sunda, atau dengan kata lain, NBG menegaskan bahwa Jawa (bahasa Jawa Cirebon) dan Sunda sebenarnya satu dalam hidup, tujuan, dan mati. NBG ingin mengatakan bahwa perbedaan Jawa dan Sunda terletak hanya sebatas bahasanya saja, tetapi makna yang dikehendaki dari ucapan yang berbeda itu sebenarnya sama. Untuk itulah, perbedaan bahasa sebenarnya bukan sesuatu yang dapat menjadi hilangnya makna yang sama, yang dikehendaki oleh bahasa yang lain. Jadi, masing-masing bahasa punya kata tersendiri yang dapat menjelaskan makna yang dimaksud oleh bahasa yang lain. Dengan cara beginilah NBG menjelaskan pahamnya tentang tunggal dan siji atau wahdatul wujud. Atau dengan kata lain, kedua bahasa yang berbeda itu sebenarnya punya maksud yang sama, dan tentunya secara lumrah masing-masing bahasa, apabila digunakan, menuju kepada ‘satu makna’ yang dikehendakinya, walaupun didalam kamusnya, kata itu memiliki beberapa dan bahkan puluhan arti.
Dari kuatnya kalimat tamsil yang digunakan NBG, sepertinya NBG bukan ditulis oleh orang yang biasa, tetapi benar-benar Bujangga yang profesional, terampil dan mampu membawa imajinasi pembaca kepada alur pemikiran yang dikehendakinya. Menurut kaidah ilmu sastra, kebesaran seseorang dapat dilihat dari bahasa yang digunakannya. Dengan kata lain, kebijakan bahasa yang dipakai dalam penulisan suatu karya, dapat menjadi tolok ukur bagi penulisnya. Kalimat tamsil yang semacam inilah yang mewarnai isi kitab-kitab Ibnu Arabi, al-Ghazali, Ibnu Athoilah, dan lain-lain sewaktu mereka menjelaskan tentang ilmu mukasyafah, ilmu makrifat, dan hulul yang dianutnya. Hanya saja perbedaan selalu ada diantara sesamanya dalam sebagian masalah yang diutarakan. Namun secara garis besar, metode yang digunakan dalam hal menghadapi kesulitan saat menjelaskan tunggal, kasyaf, atau nyata kepada pembaca, mereka menempuh jalan yang sama. Mereka beranggapan, bahwa ma’rifatul haq sesuatu yang pelik, sehingga sulit untuk dijelaskan dan ditulis dengan kalimat lepas diatas lembaran kertas. Karena didorong oleh rasa ingin berbagi ilmu yang mulia kepada pembaca atau tepatnya murid, penamsilan itu dilakukan oleh mereka, agar pembaca menangkap setetes maksud dari ma’rifatul haq yang diurai dengan tamsil. Untuk bisa merasakan atau menyaksikan secara langsung, maka pembaca atau atau yang disebut dengan istilah murid harus dapat melakukan apa yang telah dikerjakan oleh orang yang mencapai maqom ma’rifat atau maqom kasyaf secara penuh dan konsisten. Maqom ini adalah maqom yang tertinggi dalam ilmu suluk yang berkembang di dunia Islam dibelahan dunia manapun. Akan tetapi, Kartani (2004), menambahkan satu tingkat lagi di atas ma’rifat dengan tingkatan ma’lum atau maklum. Artinya: tingkatan maklum adalah kondisi pemikiran dan kesadaran seseorang tidak lagi fana fil kull (sirna dalam keseluruhan) tertuju hanya kepada Allah swt. semata, tetapi sudah bisa membagi kesadarannya kepada Allah swt. dan makhlukNya. Jadi fana yang dipakai oleh orang yang mencapai maklum adalah fana fil ab’adl (sirna dalam kesebagianan), yaitu seseorang disamping tenggelam dalam musyahadah fillah, dia juga mampu berkomunikasi dengan orang lain secara benar dan lancar.
Suluk- suluk yang mirip dengan NBG banyak terdapat dalam kasuasteraan Cirebon dan Nusantara, khususnya yang berasal dari Aceh, dan kita, khusus Cirebon, dapat mendengarkannya dalam pagelaran Macapat yang sering dilaksanakan oleh kalangan tua Cirebon. Hanya sayangnya adalah kurangnya minat kalangan muda terhadap jenis pagelaran kesenian yang satu ini. Mungkinkah karena pagelaran macapat di Cirebon tergolong sakral, atau bahasa yang dipakai dalam tembang ini tak dapat dimengerti kebanyakan kalangan mudanya. Menurut hemat kami, kesakralan yang ada dalam pagelaran macapat tak perlu menjadi alasan untuk lari dari kesenian yang unik dan menarik ini. Mereka harus coba berusaha mengerti dan masuk di dalamnya agar dapat memberikan perubahan metode pagelaran yang semula sakral menjadi meriah. Anggaplah tembang macapat adalah suatu puisi klasik yang dapat dibaca secara moderen, sebagaimana puisi-puisi yang lain. Memang harus diakui, antara tembang dan puisi sangat berbeda dalam segalanya. Dari segi pembacaan khususnya tembang macapat memang mempunyai aturan yang sangat ketat. Memang idealnya, tembang macapat harus dilantunkan sebagaimana mestinya, karena tembang adalah alunan lagu yang memerlukan kemerduan suara disamping mengerti teknik-teknik pelafalannya. Sementara puisi penekanannya pada inotasi suara yang tidak memerlukan teknik lagu secara khusus. Namun memang ke duanya mempunyai kesamaan dalam kemerduan dan ketegasan suara. Karena itulah, harus dicapai jalan keluar yang dapat menjawab problem yang berkaitan dengan pakem tembang agar bisa--- dengan segala kepantasannya--- diperlakukan sebagaimana puisi modern.

Tidak ada komentar: